Soedurisme Cak Imin dan Peluang Pengejewantahannya

by

in
Soedurisme Cak Imin dan Peluang Pengejewantahannya

Nur Faizin

Oleh: Nur Faizin*

Salah satu kepribadian khas santri adalah optimisme, keberanian, dan kesederhanaanya. Semangat inilah yang saat ini digemakan A. Muhaimin Iskandar ke mana-mana. Cak Imin, panggilan akrab A. Muhaimin Iskandar yang sekaligus Ketua Umum DPP PKB, mengajak seluruh anak negeri dalam kesederhanaan, keberanian, dan optimisme dalam merawat, menjaga, dan membangun NKRI. Bagaimana semangat Soedurisme dijewantahkan dalam kehidupan kita sehari-hari?

Saya memahami Soedurisme Cak Imin sebagai bagian integral bangsa Indonesia yang sederhana, optimis, dan berani atau kreatif. Walaupun konsep Soekarnoisme dan Gusdurisme bukan barang baru, namun iktikad Cak Imin dalam mengusung dua paham dari tokoh bangsa ini patut diapresiasi dan dilihat secara komprehensif.

Saya berkeyakinan konsep sudur atau dada untuk bangsa dapat menjadi akar memajukan negara kita dalam pelbagai hal. Pendapat ini setidaknya muncul karena beberapa alasan. Pertama, Cak Imin mengamini bahwa gagasan Soedurisme bukan barang baru. Ide ini merupakan reinterpretasi atas nilai nasionalisme Soekarno dan keislaman yang toleran ala KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Kedua, belum ada yang seberani, tegas, dan memadukan bahwa gagasan Soekarno dengan nasionalismenya dan Gus Dur dengan keislamannya dalah warna paling relevan ditransformasikan sekarang ini. Barangkali beberapa dari para pakar, akademisi dan lainnya mempunyai konsentrasi terhadap nasionalisme dan keislaman dalam bidang studinya. Diakui atau tidak dua terma tersebut acap disandarkan pada dua tokoh bangsa Soekarno dan Gus Dur. Inilah urgensinya, implementasi Islam nasionalis yang toleran sebagaimana menjadi gagasan dua tokoh tersebut secara tidak langsung wajib digalakkan di mana-mana.

Di lain pihak, Cak Imin sebagai pengusung idealisme Soekarno dan Gus Dur patut diacungi jempol atas kesederhanaan dan keberaniannya dalam memecah dinamika politik yang bersandar pada paham Gus Dur dan Soekarno. Cak Imin tentu saja tidak bisa dipisahkan dari hibrid kehidupannya. Secara sosiologis, pengetahuan dan masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan mempunyai efek. Saya memandang positif ide Cak Imin perihal Soedurisme tidak serta merta demi kepentingan politik parsial, tapi untuk kepentingan politik kebangsaan. Secara personal, pesantren dan situasi politik telah membentuk Cak Imin sebagai politisi yang mapan secara gagasan dan ide.

Kita saat ini dihadapkan pada situasi yang palik. Satu sisi ada kelompok yang ingin merongrong kebangsaan dan kenegaraan kita, di sisi yang lain ada kelompok yang berjuang mati-matian mempertahankan bangsa Indonesia melalui cara dan dinamika organisasi masing-masing. Bagi kelompok garis keras (saya menyebutnya begitu) menjadikan Islam sebagai “jualan” untuk memecah belah relasi sosial bangsa. Bagi penganut paham Soekarnoisme dan Gusdurisme NKRI harga mati. Begitulah yang selalui didengungkan.

Di sinilah relevansi gagasan Soedurisme. Keberadaan dan keberlangsungan agama mulai disulut menjadi sesuatu hal yang bertentangan. Seolah dua kubu tersebut bersebrangan dan tidak mempunyai titik temu. Di titik tertentu nasionalisme bukan “buah” yang muncul dari pohon Islam. Padahal dalam kenyataannya, tentu saja Cak Imin sudah menggambarkannya dalam tulisan yang dimuat Geotimes (2/4) dengan judul Mengapa Soedurisme? Dan Mengapa Sekarang?, sudah berjalan harmonis sejak sebelum kemerdekaan. Bahkan dalam pembukaan UUD 1945 pun termuat dan meyakinkan, bahwa kemerdekaan adalah buah rahmat dan “barakah dari” Allah Swt.

Artinya bahwa, Soedurisme menjadi satu gagasan alternatif, setidaknya untuk merenungi dan mengimplementasikan serta mengurai gejala nasionalisme-keagamaan yang mulai diusik dan diungkit berseberangan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana gagasan tersebut bisa teraktualisasi sehingga gejala pertentangan ‘pemisahan’ agama dan nasionalisme dapat diminimalisir, hingga mungkin, tidak terjadi lagi.

Penguatan Civil Society?

Upaya penguatan masyarakat pasca Orde Baru nyatanya masih belum tuntas. Situasi sekarang ini masih marak ditemui penguatan masyarakat melalui halaqoh berbasis fundamentalisme Islam. Kelompok ini cenderung ekslusif. Realitas demikian dihadapkan pada apa yang disebut dengan post-truth. Keadaan ini menghilangkan semangat masyarakat madani atau civil societyitu sendiri, terutama dalam aspek keadilan.

Dalam kacamata Giddens, dalam The Third Wasebagaimana dijelaskan oleh Jakob Oetama (1999), pergeseran peran sentral negara bukan lagi sebagai welfare state yang lama, yang menimbulkan beberapa keadaan negatif seperti ketergantungan, kepasifan, sikap tidak bertanggung jawab dari kelompok penerima tunjangan, ekslusivitas golongan menengah atas, dan kepasifan sikap politik.

Sebaliknya, lanjutnya, legitimasi negara dibangun kembali karena sensitivitas negara terhadap keragaman, kemampuan mengenai berbagai bentuk risiko ekonomi, keamanan, teknologi, pemberdayaan ekonomi lokal, dan dinamisme sosial berbagai kelompok-kelompok masyarakat. Legitimasi negara dibangun pula dengan mewujudkan transparansi dan sikap keterbukaan untuk mengundang partisipasi politik kelompok-kelompok masyarakat.

Pembangunan civil society di bawah tatanan negara yang kurang transparan juga mengakibatkan pada bangunan civil society yang lemah. Legitimasi negara melalui management of life (penataan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam setiap aspeknya) dalam hal ini bisa menekan kelompok fundamentalis yang belakangan justeru menimbulkan kebisingan di tengah masyarakat itu sendiri. Alih-alih membangun kekuatan kritis terhadap pemerintah, mereka justru mengebiri kepentingan kelompok yang berbeda.

Tentu saja ini semakin membuat pelik persoalan. Gejala disintegrasi di level horizontal semakin tampak berpijar. Keduanya saling membentak tanpa mutu argumentasi yang faktual. Upaya menghadapi gejala itu kemudian, menurut hemat saya, bisa dijawab dengan gagasan Soedurisme. Kemandirian berbudaya hingga penguatan kemanusiaan melalui spirit keislaman dan nasionalisme menjadi sangat penting diaktualisasikan. Gagasan ini akan menciptakan ruang publik yang dinamis, serta pengaturan sumber daya yang autoritatif. Salam Suduris!

*Nur Faizin, alumnus pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta. Kini menjahit semangat Soedurisme sebagai Korwil Madura Densus 26 dan Pengurus PP GPAnsor.

TAGS : Soedurisme Cak Imin Cawapres

This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin

Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/32799/Soedurisme-Cak-Imin-dan-Peluang-Pengejewantahannya/