JawaPos.com – Masih tingginya ketidakpastian global membuat anggarapan pendapatan dan belanja negara (APBN) bengkak. Surplus pendapatan negara dari windfall harga komoditas tak cukup mengurangi tekanan belanja subsidi dan kompensasi energi.
“Dengan penerimaan negara yang nambah Rp 420 triliun dipakai semua untuk subsidi energi Pertalite, solar, LPG, dan listrik itu nggak akan mencukupi. Seluruh windfall profit dipakai semuanya. Tidak akan mencukupi karena akan habis,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kemarin (26/8).
Ani, sapaannya, menjelaskan pemerintah berkewajiban membayar untuk komoditas energi yang harganya tidak berubah di dalam negeri. Walaupun harga keekonomiannya di tingkat global sudah berubah. Sehingga pemerintah harus memberi subsidi dan kompensasi melalui Pertamina dan PLN untuk rakyat agar mendapatkan harga jauh lebih murah.
Perlu diingat, APBN 2022 berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2021 mengenai APBN 2022 itu disusun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2 dengan inflasi 3 persen, nilai tukar Rp 14.350 per dolar AS (USD), serta Indonesian Crude Price (ICP) sebesar USD 63 per barel. Seiring berjalannya waktu hingga pertengahan tahun, harga minyak mulai naik.
Saat pelaporan keuangan semester I 2022 ke DPR, pelaksanaan APBN 2022 terjadi perubahan. Terutama pada harga ICP yang meningkat sangat besar. Makanya, dibuat aturan turunan berupa Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tahun 2022 yang mengatur rincian APBN 2022.
Beleid tersebut kemudian mengatur seluruh perubahan-perubahan itu. Dari sisi pendapatan negara ada kabar baik. Dari semula Rp 1.846,1 triliun naik menjadi Rp 2.266,2 triliun akibat ada windfall harga komoditas sebesar Rp 420 triliun. Tapi di sisi belanja ada tekanan yang hebat pada sisi subsidi dan kompensasi.
Oleh karena itu, Sri Mulyani bilang jika tidak menaikkan anggaran subsidi kompensasi, pasti PLN dan Pertamina tidak mampu bertahan. Sehingga melalui Perpres 98/2022, pemerintah menaikkan subsidi dari Rp207 triliun ke Rp283,7 triliun. Dengan kompensasi tarif bahan bakar minyak (BBM) dan listrik yang melonjak dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 293,5 triliun.
Makanya di dalam Perpres 98/2022, belanja non kementerian/lembaga (K/L) melonjak dari Rp 998 triliun menjadi 1.355,9 triliun. Dengan demikian, total belanja negara meningkat dari Rp 2.714,2 triliun menjadi Rp 3.106,4 triliun. Kenaikan Rp 392,2 triliun akibat mayoritas untuk subsidi kompensasi. Tapi ada juga belanja pendidikan mandatori. Mengingat, sesuai konstitusi, jika anggaran naik, maka 20 persennya untuk pendidikan.
Kemenkeu juga masih mencadangkan tambahan bantuan sosial (bansos) dari sisi belanja non K/L dalam rangka berjaga-jaga untuk masyarakat menghadapi shock yang luar biasa. “Jadi bayangkan bahwa di dalam Perpres 98, kita menaruh bantalan yang sangat besar untuk subsisi BBM, listrik, dan masih menambah bantalan untuk bansos,” terangnya.
Dari postur APBN tersebut, Ani berharap masih ada defisit di 4,5 persen pada akhir tahun. Kemenkeu masih akan menghitung terus kemungkinan untuk bisa menurunkan defisit. Karena APBN harus disehatkan.
Melalui Perpres 98/2022, pemerintah menetapkan asumsi ICP sebesar USD 100 per barel. Tapi, nyatanya harga minyak tidak turun, malah naik. Per Juli harga ICP di posisi USD 106,7 per barel.
Brent Oil bahkan lebih tinggi sebesar USD 108,9 per barel. Sedangkan outlook harga minyak oleh International Energy Organization (IOE) proyeksinya USD 104,8 per barel sepanjang tahun ini. Sementara Consensus Forecast harganya USD 105 per barel.
Nah konsekuensinya, harga yang ada di masyarakat untuk energi tidak berubah. Solar harga jual eceran ditetapkan pertamina hanya Rp 5.150 per liter. Ini artinya harga solar di dalam negeri hanya 37 persen dari harga keekonomian. Jika menggunakan kurs Rp 14.700 per USD dan ICP USD 105 per barel, maka seharusnya harga solar di Rp 13.950 per liter. Artinya, masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi 63 persen dari harga keekonomiannya.
Untuk pertalite, kata Ani, harga di masyarakat Rp 7.650 per liter. Kalau dengan UCP sebesar USD 105 per barel dan kurs Rp 14.700 per USD, maka harga pertalite seharusnya di Rp 14.450 per liter. “Artinya harga pertalite sekarang ini, sebanyak 53 persen rakyat yang mengkonsumsi pertalite setiap liternya mendapat subsidi Rp 6.800 per liter,” ungkapnya.
Pertamax yang dijual Rp 12.500 seharusnya memiliki harga keekonomian di posisi Rp 17.300 per liter. Sehingga, BBM yang dikonsumsi mobil-mobil orang kata mendapat subsidi Rp 4.800 per liter.
Untuk LPG memiliki harga jual Rp 4.250 per kilogram dengan harga keekonomiannya Rp 18.500. Konsumen praktis mendapat subsidi Rp 14.250. “Jadi kalau beli LPG 3 kilogram, maka masyarakat mendapatkan subsidi Rp 42.750,” terang mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Melihat situasi subsidi APBN terhadap energi dalam tiga tahun terakhir cenderung meningkat. Pada APBN 2022, awalnya pemerintah hanya mengalokasikan subsidi dan kompensasi untuk BBM, LPG, dan listrik hanya Rp 152,5 triliun. Dengan kenaikan harga ICP yang melonjak di atas USD 100 per barel, maka asumsinya harus direvisi. Bahkan asumsi kurs telah dikoreksi dari Rp 14.350 per USD menjadi Rp 14.450 per USD. Tapi ternyata terjadinya di Rp 14.700 per USD.
Melalui Perpres 98/2022, anggaran dinaikkan lebih dari tiga kali lipat mencapai Rp 502,4 triliun. Dari jumlah tersebut, subsidi untuk BBM naik dari Rp 77 triliun menjadi Rp 149 triliun. Sedangkan kompensasi untuk BBM melonjak luar biasa dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 252 triliun.
“Ini untuk menahan supaya harga shock dari luar karena adanya disrupsi dan perang, harga minyak menjadi luar biasa tinggi. Kalau itu tidak diredam shocknya langsung menghantam ekonomi dan masyarakat, mungkin ekonomi kita situasinya menjadi sangat berat,” ungkap Ani.
Dari anggaran subsidi dan kompensasi itu, kuota volume konsumsi solar adalah 15,1 juta kiloliter dan Pertalite sebangak 23,05 juta kilo liter. “Nah yang terjadi sekarang dengan pemuliham ekonomi, konsumsi, dan harga subsidi yang tinggi, konsumsi solar dan pertalite diperkirakan jauh melampaui yang ada di APBN,” imbuhnya.
Menurut laporan Kementerian ESDM, sepanjang 2022 konsumsi solar akan mencapai 17,44 juta kiloliter. Volume itu 115 persen dari kuota yang sudah dianggarkan. Sedangkan pertalite konsumsi sampai 8 bulan ini mencapai 29,07 juta kiloliter. Artinya, Pertalite jumlahnya akan mencapai 126 persen dari kuota.
Dengan asumsi volume konsumsi sampai 8 bulan terakhir, kuota solar dan Pertalite akan habis pada Oktober 2022. Itu yang menjadi persoalan anggaran Rp 502,4 T yang ditambahkan juga akan ludes tak cukup sampai akhir tahun.
“Kami menghitung, apabila tren dibiarkan terus maka masih akan perlu menambah anggaran subsidi kompensasi Rp 195,6 triliun. Artinya, jumlah subsidi kita akan mencapai Rp 698 triliun,” ujarnya.
Volume konsumsi sebanyak itu siapa yang menikmati? Ani membeberkan, 89 konsumsi solar dinikmati dunia usaha dan 11 persen rumah tangga. Dari 11 persen rumah tangga itu, 95 persen adalah rumah tangga kaya yang menikmati subsidi sebesar Rp 149 triliun.
Pertalite situasinya juga sama. Dari total subsidi Rp 93,5 triliun, 80 persen dinikmati rumah tangga yang relatif mampu bahkan sangat kaya. Sedangkan masyarakat miskin hanya 20 persennya. “Ini artinya dengan ratusan triliun subsidi yang kita berikan, yang menikmati adalah kelompok yang justru paling mampu. Karena mereka yang mengkonsumsi BBM itu. Yang miskin justru kecil,” tandasnya. (han)
Credit: Source link