JawaPos.com – Subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dialokasikan Pemerintah dianggap tidak tepat sasaran. Pasalnya, tidak semua masyarakat lapisan bawah merasakan efek dari subsidi yang nominalnya mencapai Rp 502 triliun itu.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengklaim, kalangan nelayan adalah sektor yang paling tidak merasakan subsidi BBM. Alias sulit mengakses BBM subsidi. Berdasar hasil survei yang digelar KNTI pada 2021, ternyata 82 persen nelayan kecil tidak memiliki akses untuk mendapat BBM bersubsidi.
“Nelayan Indonesia hanya berlayar di wilayah kepualaun. Bukan di zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang sumber daya ikannya jauh lebih kaya. Mereka harus membeli BBM jenis solar dengan harga Rp 6.800. Sebelum naik, solar seharga Rp 5.150 harus dimembeli dengan harga Rp 6 ribu hingga Rp 7 ribu per liter,” papar Dani Setiawan di sela-sela diskusi publik soal subsidi BBM yang digelar di Jakarta, Selasa (15/11).
Artinya, sambung Dani Setiawan, jika harga solar sekarang Rp 6.800 per liter, nelayan harus membeli mencapai Rp 9.000 per liter. “Nelayan kecil yang hidupnya jauh lebih sulit, harus membeli BBM jauh di atas harga pasar,” sebut Dani.
Dia menyebut, nelayan harus mendapatkan surat untuk mendapatkan solar bersubsidi. Untuk mendapatkan surat itu, prosedurnya rumpit. Akses nelayan jauh. Bahkan ada nelayan yang tidak mengetahui adanya BBM bersubsidi.
Adapun diskusi yang digelar secara hybrid itu bertajuk Urgensi Subsidi Tepat Sasaran di Tengah Krisis Energi Global. Selain Dani Setiawan, diskusi juga menghadirkan pengamat ekonomi energi Mawardi.
Dia menyebut, fiskal Indonesia untuk membayar subsidi sekitar Rp 502 triliun. Kalau anggaran itu digunakan untuk pertanian dan nelayan, bisa berdampak ekonomis yang tinggi bagi masyarakat bawah. Dalam konteks energi fosil atau minyak bumi sumbernya semakin berkurang. Sebab, sumur energi itu semakin tua dan menyusut.
Dia mengenang masa kejayaan Indonesia sempat menjadi produsen minyak dengan lebih 1 juta barel per hari (BPH). Kini lifting itu hanya mencapai 600 ribu BPH. Kondisi itu sangat kontras dengan Singapura. Negara tetangga itu bisa menjadi pengekspor minyak. Padahal Singapura tidak memiliki sumur minyak.
Dani menyebut, rata-rata subsidi solar selama lima tahun terakhir dialokasikan sebanyak 15,5 juta liter. Namun, hanya 12 persen (1,9 juta liter) yang diperuntukkan ke sektor perikanan. “Tapi dari jumlah tersebut yang terserap hanya 2 persen. Sisanya entah menguap ke mana. SPBU untuk nelayan pun sangat langka dan sulit dijangkau,” jelasnya.
Pengamat Ekonomi Energi Mawardi menganggap subsidi energi langsung tunai lebih tepat sasaran dibandingkan lewat BBM. Pasalnya, sekitar 60 persen konsumsi BBM diserap sektor transportasi.
“Jika subsidi langsung seperti untuk rumah tangga miskin, itu mempunyai fleksibilitas dalam membelanjakannya. Sementara subsidi BBM rawan akan terjadinya deviasi seperti inovasi tangki kendaraan dan lainnya juga lebih banyak dinikmati kalangan masyarakat mampu,” paparnya.
Credit: Source link