JawaPos.com – Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) telah menekan saham perbankan secara global. Meski pemerintah Amerika Serikat (AS) menjamin simpanan para deposan, para investor khawatir runtuhnya bank yang mendanai start-up itu bakal memicu krisis keuangan lebih luas.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, kebangkrutan SVB bisa menjadi pelajaran.
Bahwa kenaikan suku bunga yang terjadi secara serentak di berbagai negara bisa menimbulkan kenaikan risiko perbankan yang cukup serius. Karena itu, perbankan nasional perlu hati-hati menyusun strategi, terutama terkait manajemen risiko.
Menurut dia, efek SVB sejauh ini cenderung terkait dengan pendanaan start-up. Sebab, saat era dana murah atau quantitative easing di AS, banyak perusahaan rintisan yang mendapat suntikan permodalan lewat bank tersebut.
Di sisi lain, OJK menilai penutupan Silicon Valley Bank (SVB) oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) AS pada 10 Maret lalu tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menjelaskan, bank-bank di tanah air tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan teknologi start-up maupun kripto. Berbeda dengan SVB dan perbankan di AS. ’’Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang,” imbuhnya.
Indonesia setelah krisis keuangan 1998 telah melakukan langkah-langkah mendasar untuk penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum, dan penguatan tata kelola, serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien, dan stabil. Hal itu tecermin dari kinerja industri perbankan yang terjaga dan solid. Bahkan, tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global.
Saat ini, kinerja likuiditas AL/NCD dan AL/DPK berada di atas threshold. Masing-masing sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen. Jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen. Aset perbankan juga terjaga pada komposisi proporsional. Komposisi dana pihak ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat. Sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Begitu pula, risiko kredit, risiko pasar, permodalan, dan profitabilitas masih tumbuh positif.
’’Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori bank dalam resolusi. Yakni, bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan,” kata Dian.
OJK berkomitmen untuk terus melakukan berbagai langkah kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan BI, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Baik secara langsung maupun melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mengantisipasi dampak dan tekanan global yang mungkin terjadi.
Dian menegaskan, lembaganya akan terus meningkatkan pemantauan terhadap berbagai perkembangan yang terjadi secara global dan implikasinya terhadap perbankan Indonesia.
Editor : Ilham Safutra
Reporter : han/dee/c17/oni
Credit: Source link