JawaPos.com – Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K. Harman mengapresiasi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu karena, KPK berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua menteri Kabinet Indonesia Maju dalam kasus berbeda. Kedua menteri yang menjadi tersangka KPK itu adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Edhy Prabowo terjerat dalam kasus dugaan suap penetapan izin ekspor benih lobster. Sementara Juliari terjerat dalam kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
’’Kami mendukung penuh langkah KPK, itu menunjukkan bahwa KPK masih memiliki gigi dan terutama saya memberi apresisasi kepada bapak Presiden Jokowi yang memberi ruang seluas-luasnya kepada KPK untuk kembali bergeliat memberantas korupsi,’’ kata Benny di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (11/12).
Anggota Komisi III DPR RI itu memberikan perhatian khusus pada kasus hukum yang menjerat Juliari. Benny menyayangkan langkah Wakil Bendahara Umum PDI Perjuangan itu dengan menerima suap dalam pengadaan bansos Covid-19. ’’Itu sungguh menyakiti hati rakyat,’’ ungkap Benny.
Menurutnya, KPK kembali menunjukkan taringnya meski terdapat perubahan kinerja usai berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Dalam dua pekan, lembaga antirasuah itu menjaring operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua menteri Kabinet Indonesia Maju atau anak buah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ditetapkan sebagai tersangka.
Edhy Prabowo sebagai tersangka dugaan suap penetapan izin ekspor benih lobster atau benur. Edhy bersama sejumlah pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pihak swasta diamankan lembaga antirasuah pada Rabu (25/11).
Selain Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya yang juga terseret dalam kasus ekspor benih lobster atau benur. Keenam tersangka itu yakni, Safri (SAF) selaku Stafsus Menteri KKP; Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP; Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK); Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP; dan Amiril Mukminin selaku swasta. (AM). Mereka bersama Edhy ditetapkan sebagai diduga penerima.
Sementara diduga sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP). KPK menduga, Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 10,2 miliar dan USD 100.000 dari Suharjito.
Suap tersebut diberikan agar Edhy selaku Menteri Kalautan dan Perikanan memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benih lobster atau benur.
Keenam tersangka penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, OTT KPK juga turut menjerat Juliari Peter Batubara sebagai tersangka dugaan suap program bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek. Juliari diduga menerima fee sebesar Rp 17 miliar dari dua periode paket sembako program Bansos.
Penerimaan suap itu diterima dari pihak swasta dengan dimaksud untuk mendapatkan tender sembako di Kementerian Sosial RI. Juliari menerima fee tiap paket Bansos yang di sepakati oleh Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) sebesar Rp 10 ribu perpaket sembako dari nilai Rp 300 ribu perpaket Bansos.
KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Sebagai tersangka penerima suap diantaranya Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial (Mensos); Matheus Joko Santoso (MJS) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos dan seorang berinisial AW. Selain itu sebagai pemberi suap KPK menetapkan, Aardian I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) selaku pihak swasta.
Sebagai Penerima MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara itu, JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)
Saksikan video menarik berikut ini:
Editor : Dinarsa Kurniawan
Reporter : Muhammad Ridwan
Credit: Source link