JawaPos.com – Dalam rentang empat hari terjadi dua serangan terorisme, yakni aksi bom bunuh diri di gereja Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021 dan aksi penyerangan di Mabes Polri pada tanggal 31 Maret 2020. Dua peristiwa tersebut menunjukan bahwa terorisme hingga kini masih menjadi ancaman serius dan nyata yang dihadapi oleh Indonesia.
Melihat peristiwa ini, lembaga independen yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, Imparsial menyampaikan pandangannya. Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, ancaman teror ini nyata dan tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Kami memandang bahwa aksi terorisme merupakan tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan dengan dalih dan tujuan apapun. Aksi terorisme secara nyata menjadi ancaman terhadap keamanan dan juga kemanusiaan kita,” ujar dia dalam keterangannya yang dikutip, Kamis (1/4).
Dalam perkembangannya, aksi terorisme pada masa kini semakin lebih kompleks. Aksi itu tidak hanya dilakukan oleh kelompok, tetapi juga dapat dilakukan seorang diri (lone wolf). Perkembangan teknologi dan dinamika arus infomasi-komunikasi yang begitu cepat telah memberikan ketersediaan sumber daya dan metode baru bagi para pelaku teror untuk mencapai tujuannya.
Pelaku aksi teror tidak lagi bergerak dalam sebuah situasi isolasi. Ruang dan peluang yang dimiliki oleh pelaku teroris untuk menjalankan aksinya semakin luas. Hal ini menjadikan fenomena terorisme menjadi relatif sulit diprediksikan untuk menentukan kapan dan di mana kelompok teroris akan melakukan aksinya.
Upaya penindakan terhadap pelaku aksi terorisme termasuk mengungkap jaringan kelompoknya yang selama ini dilakukan melalui instrumen penegakan hukum memang menjadi bagian dari langkah penting yang perlu tetap dilakukan. Namun, hal ini juga sekaligus memantik reaksi perlawanan dari kelompok teroris.
Tentunya, aparat kepolisian tidak boleh mundur, apalagi kalah dari kelompok teroris. Adalah kewajiban negara untuk menjamin rasa aman masyarakat termasuk dari ancaman terorisme.
“Lebih dari itu, kami menilai bahwa dalam konteks penanggulangan ancaman terorisme dibutuhkan adanya kebijakan yang komprehensif dan sistematis untuk menangani akar penyebabnya dengan tetap selaras dengan kehidupan negara demokratik, negara hukum dan HAM,” imbuh dia.
Baca Juga: Bom di Katedral Makassar, JK: Kita Tidak Toleransi Segala Bentuk Teror
Kebijakan negara untuk menanggulangi ancaman terorisme tidak hanya mencakup langkah-langkah kontra-terorisme yang berbasis pada pendekatan keamanan dengan melakukan penindakan. Hal penting lainnya juga dimaksimalkannya perumusan langkah-langkah pencegahan yang diarahkan untuk mengatasi faktor-faktor pendorong terorisme dan ekstremisme kekerasan.
“Kami menilai sepanjang penebaran kebencian atas dasar SARA masih terus bertebaran di media sosial dan cara pandang yang eksklusif dalam bermasyarakat dan beragama masih kuat yang diikuti dengan sikap intoleran, maka hal itu mendorong situasi sosial yang kondusif bagi tumbuhnya terorisme dan ekstremisme kekerasan,” ujar dia.
Pada titik ini, penguatan penanganan terorisme bukan dengan memperkuat kewenangan instrumen koersif seperti rencana pelibatan TNI untuk mengatasi aksi terorisme atau memberikan kewenangan baru yang berlebihan pada aparat kepolisian, tetapi yang harus dipikirkan dan didorong adalah bagaimana membangun mekanisme pencegahan yang efektif untuk menanganinya mulai dari agenda deradikalisasi hingga kontraradikalisasi.
Langkah-langkah pencegahan yang sifatnya komprehensif juga perlu melibatkan semua pemangku kepentingan baik di pemerintahan maupun masyarakat, mengingat kompleksitas akar dan masalah terorisme.
“Dalam konteks ini, kerja-kerja tersebut perlu mengoptimalkan peran BNPT, tokoh agama, masyarakat, peran komunitas, dunia pendidikan, keluarga dan lainnya. Kebijakan dan strategi yang parsial sulit menghasilkan capaian yang optimal
mengingat kompleksitas akar dan sumber persoalan yang ada,” pungkasnya.
Credit: Source link