DENPASAR, BALIPOST.com – Kelestarian alam, manusia, dan budaya Bali menjadi konsen perhatian Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri. Secara spesifik Megawati meminta agar Pemerintah Provinsi Bali.menjaga, merawat dan melestarikan alam Bali. Bahkan, Megawati meminta Gubernur Bali Wayan Koster agar Bali berhenti mengkonversi tanah subur melalui Peraturan Daerah (Perda).
Menurutnya, tanah Bali sangat subur. Mestinya pertanian Bali harus dikembangkan untuk mampu
menghidupi masyarakat Bali. Sedangkan tanah-tanah yang tandus mestinya dikaji kembali pemanfaatannya. Sehingga 100 tahun ke depan bisa bermanfaat untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Bali.
Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa
(Unwar) Dr. Ir. I Gusti Bagus Udayana, M.Si., mengatakan
alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman tanpa
pengawasan dapat berdampak negatif bagi manusia
dan makhluk hidup lainnya. Sebab, sebagian besar alih
fungsi lahan menunjukkan ketimpangan penguasaan
lahan yang didominasi pemilik izin mendirikan bangunan pemukiman, baik secara horizontal (real estate) atau vertikal.
Dampak alih fungsi lahan yaitu turunnya produksi pertanian, hilangnya kesempatan bertani, investasi pemerintah di bidang pengairan jadi tidak optimal, dan
berkurangnya ekosistem sawah. Selain itu, dikatakan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam beberapa
tahun belakangan ini menimbulkan dampak positif yang cukup besar, terutama dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja.
Perkembangan pembangunan secara tidak langsung mengubah struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih kearah ekonomi industri, terutama manufaktur dan sektor jasa. Sebagai akibat perubahan struktur
ekonomi tersebut, maka secara langsung berdampak terhadap sektor lain terutama sektor pertanian.
Sektor industri dan jasa yang berkembangan pesat tentu saja diikuti oleh kebutuhan akan lahan untuk sektor tersebut baik yang berhubungan langsung
maupun yang menjadi ikutannya. Karena lahan yang sudah ada terutama di daerah kawasan industri sebagian besar adalah lahan pertanian, maka sebagai akibatnya terjadi banyak alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke sektor lain terutama sektor industri, perumahan, perdagangan dan jasa.
Apabila harus terjadi alih fungsi lahan, maka harus dicari jalan keluar untuk dapat menggantikan lahan pertanian tersebut dengan hasil yang minimal sama dengan mengembangkan teknologi pertanian. Seperti, pemanfaatan sistem pertanian verticultur, sistem pertanian Aqua phonic, memanfaatkan teknologi
pertanian modern dengan sistem Iot dan sebagainya sehingga produksi pertanian tidak berkurang bahkan bisa meningkat.
Dengan memperhatikan hal tersbut peningkatan nilai tambah lahan pertanian di Bali dapat ditingkatkan dengan terus meningkatkan sistim pertanian organik
dengan menerapkan green ekonomi. Dengan demikian lahan baik dapat dimanfaatkan hingga ke anak cucu hingga 100 tahun lebih.
Sementara itu, Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana I Made Sarjana, mengatakan, kegaduhan pariwisata yang terjadi telah menjadi isu lama bahkan sejak tahun 1990an. Antara pariwisata dan pertanian, dua hal yang selalu dipertentangkan. “Kalau pariwisatanya maju, pertaniannya mundur tapi ketika pariwisatanya mundur, pertaniannya maju terutama soal pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA), lahan, dan air. Itu sudah menjadi isu yang sudah berlangsung lama,” ungkapnya.
Dari isu tersebut berkembang upaya untuk mengharmoniskan pariwisata dengan pertanian, dengan munculnya konsep agrowisata, ekowisata, ecotourism, desa wisata. Padahal yang utama diharapkan dari pariwisata adalah Community base Tourism, yaitu keterlibatan masyarakat lokal mengelola pariwisata. Namun realitasnya agrowisata memang berkembang hanya saja dikembangkan dengan padat modal, sehingga kontribusi atau partisipasi petani sangat minim.
“Misalnya agrowisata yang skala skala kecil, kopi luwak seluas 2 ha, lahannya sebagian untuk parkir, sebagian untuk fasilitas pariwisata, sebagian untuk kebun, itu kan mungkin milik 1-2 orang tidak melibatkan petani atau subak abian. Dalam konsep agrowisata itu, karakteristik mass tourism dibawa ke agrowisata, sehingga keterlibatan masyarakat lokal kecil. Wajar Bu Mega warning kita untuk kembali melibatkan masyarakat secara lebih luas,” ungkapnya.
Dengan demikian tantangannya adalah situasi di Bali yang tidak mendukung masyarakat kembali ke pertanian, karena sudah sangat tergantung pada pariwisata. Ada ketakutan dari masyarakat tidak kebagian kue pariwisata jika mengembangkan pertanian.
Hal itulah yang menjadi kendala utama. Cara berpikir masyarakat jangka pendek, mendapatkan sesuatu dengan instan misalnya mengontrakkan tanahnya ke investor atau wisatawan sehingga menjadi alih fungsi lahan masih menjadi tantangan besar. Jika situasi ini terus berlanjut, maka harapan mengembalikan alam Bali sesuai harapan Megawati sulit terwujud.
Meski isu tersebut sudah menjadi isu lama bahkan telah ada perencanaan yang dirancang ditambah dengan dibuatnya kebijakan perlindungan pertanian, namun nyatanya implementasi di lapangan sulit diwujudkan. Seperti penerapan Pergub 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali belum optimal.
Jika Pergub tersebut diterapkan, masyarakat pemilik lahan dan petani tidak akan mengalihfungsikan lahannya ke pariwisata karena berjaya dengan pertanian yang digarap. Kondisi pertanian tersebut yang memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan ke pertanian dan pembangunan hotel tidak terbendung.
Jika One Island management diterapkan satu komando di Gubernur, pembangunan hotel bisa dikontrol. Dengan satu komando dan tolok ukur kebutuhan kamar hotel dan permintaan berdasarkan lingkup Provinsi, jumlah kamar akan menjadi jenuh. (kmb/balipost)
Credit: Source link