JawaPos.com – Target Pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak pada RPJMN 2020-2024 dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di 2024 perlu diikuti dengan keseriusan pengawasan harga rokok di pasaran. Tanpa kebijakan pengawasan, harga rokok yang terjangkau menjadi salah satu potensi kegagalan Pemerintah dalam penurunan prevalensi merokok. Khususnya pada generasi muda yang akan menjadi generasi penerus bangsa.
Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Wawan Juswanto mengatakan, pemerintah secara serius berupaya mencapai target penurunan prevalensi merokok anak yang tercantum di RPJMN 2020-2024. Menurutnya, untuk kebijakan harga transaksi pasar (HTP) memang telah diubah sejak 2017 dengan pengaturan batasan penjualan rokok 85 persen dari harga jual eceran (HJE).
“Tujuan dari pembatasan 85 persen ini adalah untuk mengendalikan konsumsi agar harganya tidak terlalu murah di pasaran. Selain itu ada persaingan sehat pada perusahaan, untuk menghindari predatory pricing oleh perusahaan besar terhadap pabrik golongan menengah dan bawah,” ujarnya dalam keterangannya, Selasa (30/3).
Baca Juga: Harga Rokok Naik, Bea Cukai Jatim Berharap Jumlah Perokok Turun
Sementara itu, Peneliti dari Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Adi Musharianto mengatakan, ada kontradiksi pada kebijakan minimum 85 persen yang ditetapkan Kementerian Keuangan tersebut.
Bedasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai (Perdirjen BC) Nomor 37 tahun 2017 yang direvisi menjadi Perdirjen BC Nomor 25 tahun 2018 justru dalam lampiran metode pengawasannya memberikan ruang bagi perusahaan rokok untuk menjual rokok lebih rendah dari aturan di PMK 198/2020 (kurang dari 85 persen) asalkan didistribusikan di kurang dari 50 persen atau sekitar 40 area kantor bea cukai (KPPBC) di seluruh Indonesia yang melakukan pengawasan.
Editor : Nurul Adriyana Salbiah
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link