Pandemi Covid-19 membuat sistem bisnis digital berkembang pesat. Salah satunya cloud kitchen. Konsep pujasera online itu punya potensi meningkat di tengah perkembangan teknologi informatika saat ini.
—
KONSEP cloud kitchen alias dapur bersama memang tidak terlalu baru. Penyedia tempat untuk jasa kuliner itu sudah ada sejak pusat jajanan selera rakyat (pujasera) berkembang. Namun, hal itu bergeser sistem pembelian dengan adanya pandemi Covid-19 dan meroketnya layanan kuliner online.
Thomas Tirta melihat kesempatan itu di awal pandemi. Sebagai pengusaha kuliner, dia tahu bahwa tekanan yang dihadapi selama pembatasan kegiatan sosial sangat besar. Tak ada lagi pengunjung mal atau masyarakat yang keluar untuk makan di tempat. Satu-satunya jalan adalah bergabung dalam ekosistem online food delivery (OFD).
”Satu-satunya pikiran kami adalah cara menekan biaya pengeluaran. Karena mengelola usaha kafe dan restoran butuh biaya besar,” ucapnya.
Dari sana, konsep cloud kitchen yang sudah merambah di level global mulai dipikirkan. Cloud kitchen adalah layanan di satu tempat dengan beberapa pengusaha kuliner berbagi dapur. Dengan begitu, pelaku usaha tak perlu biaya investasi lahan.
Dengan rencana tersebut, Thomas bersama rekanannya, Joshua Bong, memulai bisnis itu. Mereka mengubah rumah di wilayah Embong Gayam, Surabaya, menjadi 13 kitchen station. Mereka mengundang tenant untuk bergabung. ”Sekarang kami sudah menampung 10 tenant. Dalam waktu dekat kami mau tambah 10 kitchen lagi,” papar co-owner Kitchen Space itu.
Jika dihitung, membangun 13 dapur butuh biaya besar. Pengusaha cloud kitchen sudah pasti butuh lahan yang cukup luas. Namun, Thomas mengatakan bahwa model bisnisnya jauh lebih fleksibel semenjak pandemi. Dia melakukan kerja sama dengan pemilik lahan dengan sistem bagi hasil. Tenant pun masuk tanpa harus membayar iuran atau biaya sewa.
Dengan modal tersebut, dia mendapatkan 15 persen dari omzet penyewa. Hasil itu dibagi-bagi untuk kebutuhan operasional dan bagian dari pemilik lahan.
Setelah lebih dari setahun berkecimpung di dunia cloud kitchen, dia melakukan evaluasi. Hasilnya, penyedia dapur bersama tidak bisa hanya menyediakan tempat. Jika tak sesuai standar, ekosistem yang disediakan tidak akan bertahan lama.
Dia harus mengatur alur dapur agar kinerja operasional penyewa meningkat. Termasuk menjaga higienitas dalam produksi makanan. ”Saya sudah berpengalaman kerja di restoran sejak belajar perhotelan di Sydney 2013 lalu. Nah, saya menerapkan ilmu saya untuk membuat waktu pembuatan menu dari 10 menit menjadi 5 menit,” paparnya.
Selain meningkatkan kinerja operasional, dia bertugas melakukan marketing untuk produk tenant. Setiap hari Thomas menanyakan menu apa yang masih tersisa banyak dan langsung mempromosikannya.
Dia bahkan melakukan promosi antarmerek untuk bisa mengangkat penjualan produk yang belum mencapai target. ”Kalau ada tenant yang penjualannya lambat, kami akan pasangkan dengan yang penjualannya tinggi. Ini salah satu keunggulan cloud kitchen,” ujarnya.
Memang, saat ini profit yang diraih tidak terlalu besar. Namun, dia mengatakan bahwa hal tersebut untuk membangun portofolio. Setelah ekosistemnya matang, Thomas optimistis valuasinya meningkat dan banyak pendapatan tambahan yang bisa diperoleh.
Dia memberi pesan bagi yang memang berniat untuk membangun ekosistem tersebut. Yakni, perhatikan sumber daya manusia yang merupakan aset penting dalam penyedia layanan cloud kitchen. Thomas harus melatih karyawannya agar bisa sesuai standar. ”Kasir, misalnya. Perannya bukan sekadar untuk pembayaran, tapi mengawasi kinerja dari karyawan tenant kami,” paparnya.
TIPS MEMBANGUN CLOUD KITCHEN
– Pilih lokasi strategis. Dekat perkantoran atau sekolah.
– Pilih tenant yang produknya sesuai dengan standar.
– Awasi operasional setiap dapur sesuai dengan standar.
– Promosikan produk penyewa sesuai dengan kebutuhan mereka.
Diolah dari berbagai sumber
Credit: Source link