JawaPos.com – Aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja terus berjalan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama 32 elemen serikat buruh lain menegaskan tidak akan menghentikan aksinya sampai UU itu dibatalkan.
Hal tersebut disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal. Aksi yang digelar akan sama dengan yang dilakukan sebelumnya, yakni terarah dan sesuai konstitusi. ”Dalam aksi tidak boleh ada kekerasan,” ucapnya dalam konferensi pers di Jakarta kemarin (12/10). Untuk mengurangi potensi kerusuhan, dia berjanji terus berkoordinasi dengan aparat keamanan. ”Namun, jangan larang kami untuk aksi karena ini hak kami,” tegasnya.
Selain aksi, hal lain yang akan dilakukan adalah meminta dilakukan peninjauan berupa executive review dan legislative review. Dalam executive review, dia meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja. ”Kami mohon kepada presiden dan ketua DPR untuk menggunakan hak legislative review dan executive review,” ucapnya.
Lalu, bagaimana dengan judicial review? Ada kemungkinan ini juga masuk agenda, tapi belum prioritas. Sebab, masih banyak hal yang harus dipelajari untuk melakukan peninjauan lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK). Dia juga meluruskan beberapa opini yang berkembang. Misalnya, terkait dengan upah minimum. Dia membenarkan bahwa dalam UU tersebut, upah minimum memang masih tercantum. Namun, yang menjadi masalah adalah upah minimum bersyarat. ”Bersyaratnya apa, belum jelas,” ungkapnya.
Dia menegaskan, yang ditolak buruh adalah adanya kata bersyarat. Apalagi, tidak ada keterbukaan syarat seperti apa yang seharusnya ada. Merujuk pada aturan yang selama ini berjalan, upah minimum bersyarat itu tak dikenal. ”Kami menuntut kembali ke UU 13/2003,” ujarnya.
Said juga menegaskan bahwa buruh menolak penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Jika dihilangkan, tidak ada perbedaan pengupahan yang disesuaikan dengan keahlian pabrik. ”Kalau UMSK hilang, masak upah minimum pabrik kerupuk dengan pabrik mobil sama. Kan tidak masuk akal,” tuturnya. Selain itu, jika diikutkan pada upah minimum provinsi, ada beberapa daerah yang upah minimumnya mengecil. Contohnya, Jabodetabek. Saat ini upah minimumnya Rp 4,9 juta. Namun, jika mengikuti upah minimum Provinsi Jawa Barat, nilainya bisa berubah menjadi Rp 1,8 juta.
Dikonfirmasi terpisah, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan, UU Cipta Kerja tidak menghapus ketentuan existing yang berkaitan dengan upah minimum. Termasuk soal upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Prinsipnya, UMP bersifat wajib ditetapkan. Sedangkan UMK ditetapkan dengan syarat tertentu. ”Syarat tertentunya ini yaitu memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” ujarnya.
Menurut dia, syarat itu diperlukan agar UMK yang nanti ditetapkan tidak hanya terlihat bagus di atas kertas. Tapi, juga dapat diimplementasikan dengan baik. Nah, bagi perusahaan yang mampu melaksanakan ketentuan upah di atas UMP dan UMK, masih terdapat ruang melalui pengaturan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Itu termasuk mengatur upah yang bersifat sektoral. Proses tersebut dapat mendorong pekerja/buruh berpartisipasi dalam dialog dengan perusahaan. Ketentuan itu sejalan dengan standar internasional yang menyatakan bahwa pengupahan secara mendasar disepakati antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Selain itu, UU Cipta Kerja menegaskan bahwa pengusaha yang telah memberikan upah lebih tinggi daripada upah minimum dilarang mengurangi atau menurunkan upah.
Mengenai PHK, dia mengakui, sejak berlakunya UU 13/2003, ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran kompensasi PHK tidak berjalan sebagaimana mestinya. Nilai pembayaran uang pesangon cenderung lebih kecil daripada yang diatur dalam UU 13/2003.
Berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan 2019, dari 536 perjanjian bersama (PB) kasus PHK, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai UU 13/2003 hanya 27 persen atau sekitar 147 PB. Untuk sisanya, membayar kompensasi PHK sesuai UU 13/2003, tetapi memberikan dalam bentuk lain.
Data itu sejalan dengan laporan World Bank 2010 yang mengutip data Sakernas BPS 2008. Berdasar laporan, hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan UU 13/2003. Lalu, 27 persen pekerja menerima pesangon sesuai UU 13/2003 dan sisanya (66 persen) sama sekali tidak mendapat pesangon. ”Dalam praktiknya, pembayaran uang pesangon lebih dipengaruhi proses negosiasi sehingga besaran yang diterima pekerja atau buruh di bawah ketentuan,” paparnya.
Saksikan video menarik berikut ini:
Editor : Ilham Safutra
Reporter : mia/agf/lyn/tyo/han/c7/oni
Credit: Source link