JawaPos.com – Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) yang tercantum dalam Program Penyusunan Peraturan Pemerintah di tahun 2023. AMTI menilai revisi PP 109/2012 akan mengancam keberlangsungan mata rantai industri hasil tembakau (IHT) yang selama ini menjadi penghidupan jutaan masyarakat Indonesia dari hulu ke hilir.
“Jika revisi ini dijalankan, maka poin-poin aturan yang eksesif dan diskriminatif akan mengancam keberlangsungan industri tembakau,” ujar Sekretaris Jenderal AMTI Hananto Wibisono, Selasa (25/1).
Hananto menjelaskan, terganggunya IHT akan berdampak pada nasib 2 juta petani tembakau, 2 juta peritel, 1.5 juta petani cengkih, dan 600 ribu karyawan. Padahal, IHT selama ini menjadi salah satu penopang perekonomian nasional, khususnya pada saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
“Menurut hasil studi UNAIR (Universitas Airlangga) pada tahun 2022, kontribusi PDB (Produk Domestik Bruto) industri tembakau kepada perekonomian negara mencapai Rp 710,3 triliun dari hulu ke hilir. Industri ini mampu menggerakkan perekonomian, khususnya di sentra produksi tembakau,” paparnya.
Hananto juga melihat faktor pertimbangan pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dalam mendorong revisi PP 109/2012 tidak berdasarkan data yang valid. Hal ini mengingat prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan selama empat tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2022 angka prevalensi perokok anak berusia 18 tahun ke bawah adalah 3,44 persen. Angka ini menurun dibanding tahun sebelumnya yakni 3,69 persen.
Data tersebut menunjukkan perkembangan terkini yang telah mengarah pada progres. Selain itu, larangan merokok bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun sudah tercantum dalam PP 109/2012. Senada, Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, juga menekankan revisi PP 109/2012 akan mengganggu stabilitas IHT sebagai sawah ladang dari mayoritas anggota RTMM. Menurutnya, pekerja di sektor tembakau akan kembali termarjinalkan dan mendapat perlakuan diskriminatif.
“Pekerja tembakau sering jadi korban atas kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Revisi PP 109/2012 ini bertentangan dengan Undang-undang karena tidak mengakomodasi kepentingan pihak yang terlibat,” ujar Sudarto.
Sementara itu, Ketua Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Agus Sarjono, menyampaikan IHT telah berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. “Pemerintah selalu menekan industri ini dengan regulasi yang eksesif. Kita ini sudah berikan kontribusi besar bagi perekonomian. Pabrik-pabrik rokok juga selalu patuh pada aturan, termasuk PP 109/2012,” imbuhnya.
Credit: Source link