Kawal Power Wheeling Tak Masuk RUU EBT, Marwan Cs Kirim Petisi ke DPR

Kawal Power Wheeling Tak Masuk RUU EBT, Marwan Cs Kirim Petisi ke DPR

JawaPos.com – Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara bersama sejumlah tokoh mengirimkan petisi kepada Komisi VII DPR untuk mengawal agar skema power wheeling tidak masuk dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang saat ini tengah dibahas pemerintah dan DPR. Marwan mengatakan, petisi dibuat karena skema power wheeling dinilai kurang tepat. Pasalnya skema tersebut akan menimbulkan permasalahan baru pada sektor kelistrikan nasional.

“Jika skema power wheeling disahkan di dalam UU EBT, maka produsen listrik swasta (independent power producer/ IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN,” kata kata Marwan, saat ditemui awak media, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/1).

Ia menjelaskan, skema power wheeling menyalahi konstitusi dalam turunan Pasal 33 UUD 1945 yang tertuang dalam UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Menurutnya, penyediaan listrik untuk kepentingan umum dilakukan secara terintegrasi mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan diamanatkan dilakukan oleh PLN.

Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa skema power wheling akan merugikan negara sebab akan mengurangi kemampuan PLN untuk bertahan dari kondisi kelebihan pasokan listrik di Indonesia yang sangat besar dan tidak berimbang dengan konsumsi. “Faktanya sarana itu (transmisi) dibangun dalam rangka menyalurkan listrik oleh PLN. Saat ini pasokan listrik PLN sangat berlebih, over supply di Jawa itu sekitar 50 sampai 60 persen dan ini akan berlangsung mungkin 3 atau 4 tahun ke depan. Kemudian di Sumatera juga sekitar itu 40 sampai 50 persen,” paparnya.

Selain itu, pemanfaatan jaringan PLN oleh IPP EBT melalui skema power wheeling juga akan menimbulkan masalah pada sisi konsumen. Harga listrik pembangkit berbasis EBT yang dibangun swasta tentu akan lebih mahal.

Hal ini tentu akan dibebankan ke konsumen. Sementara saat ini pemerintah belum memiliki pengaturan yang jelas terkait skema tarif yang akan diterapkan.

Marwan mengungkapkan, atas banyaknya masalah yang akan ditimbulkan oleh penerapan skema power wheeling maka sebaiknya pemerintah dan DPR tidak perlu lagi memaksa memasukkan skema tersebut ke dalam draf RUU EBT.

Untuk itu, meski dalam naskah akhir RUU EBET yang dikirimkan Pemerintah kepada DPR pada 29 November 2022, skema power wheeling sudah tidak lagi tercantum dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Namun dalam pembahasan lanjutan RUU beberapa minggu ke depan, berkembang informasi bahwa skema power wheeling akan kembali dibahas dan masuk dalam UU EBT.

“Hal ini menjadi perhatian masyarakat dan harus dicegah. Kami di sini hadir untuk mengawal agar skema power wheeling tidak kembali dibahas dan masuk dalam UU EBT,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghapus pasal skema power wheeling dalam RUU Energi Baru Terbarukan (EBT). Keputusan itu diapresiasi oleh anggota Komisi VII DPR Yulian Gunhar.

Menurut Gunhar, skema power wheeling dinilai hanya merugikan negara dan berimbas pada akses listrik yang tidak merata. Apalagi, prioritas pemerintah saat ini meningkatkan rasio elektrifikasi, terutama bagi daerah terpencil.

“Untuk saat ini, tugas yang sangat prioritas bagi pemerintah adalah bagaimana mengaliri listrik ke daerah terpencil, di tengah kondisi oversupply listrik yang biayanya ditanggung negara, bukan skema power wheeling. Apalagi skema terebut melanggar UUD 1945, UU Ketenagalistrikan, dan keputusan MK,” ujar Yulian Gunhar kepada wartawan, Selasa (24/1).

Lebih jauh Gunhar menurutkan, penerapan skema power wheeling berpotensi membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : R. Nurul Fitriana Putri


Credit: Source link

Related Articles