Lusan

Lusan

Lusan

Siang tadi, Bapakmu menggali lahad,

tubuhmu lekas terbaring dijaga adat.

Kakak sulung pulang,

kantung matanya hitam,

menjaga jelaga keluarga(mu)

dari bising hiruk pikuk ingatan,

kau kembali lahir

–menjadi bungsu,

dan dua kakakmu senantiasa

menjadi musim.

Katakan, siapa sulung (lain) yang menjaga(mu)

serupa kunang-kunang,

memastikan kau tumbuh,

Lalu dihantam pancaroba

dan air mata ibu (terus) beranak

–menjaga restu

 

Ponorogo, Oktober 2022

Hari Pasaran

Ibumu pernah menghitung weton,

lalu percaya cinta serupa laron.

Ia mulai dewasa, tatkala

rajin menyiram doa di tanggal lahirmu.

(Di) sela-sela rapalan doa ibu,

kau memeram waktu

–dan sia-sia.

’’Siapa nama laki-laki itu, Nduk?’’

’’Kang Kliwon, Bu,’’ ucapmu

–meminjam

lidah kekasihmu

Ponorogo, Oktober 2022

Hantaran

Kau tak pernah berkawan dengan restu,

sejak kecil –ia telah jadi musuh

bebuyutan.

Begitu juga Bapak.

Kau pun melempar bola mata,

mengira-ngira hari penyerahan.

Akan datang (banyak) hantaran,

dari sepi,

dari angan-anganmu yang terjebak,

di belantara kasih (ke)kasihmu.

Maka kau akan terbaring sempurna,

memeram yang hilang

–yang belum dilahirkan.

 

Ponorogo, Oktober 2022

(Sebelum) Lamaran

Kalian pernah bersumpah,

: menjadi sepasang angsa.

Atau menjadi telaga di tengah

taman.

Tapi, kau masih meminjam

bola mata Bapakmu.

Menimbang nasib kekasihmu,

yang legam.

Kini, bisa jadi kau sudah lupa,

ada yang mengembun di mata ibu,

menghitung restu

–di kalkulator pasar yang hilang

tanda sama dengan.

 

Ponorogo, Oktober 2022

Hari Pernikahan

Terdengar bunyi toa masjid,

salam,

istirja,

nama musuh bebuyutanmu

: restu,

–diulang sekali lagi.

Ponorogo, Oktober 2022

SAPTA ARIF, Kepala Humas STKIP PGRI Ponorogo. Buku terbarunya Bulan Ziarah Kenangan.


Credit: Source link

Related Articles