Kemenkes Instruksikan Penjual dan Pengelola Sekolah Diedukasi
JawaPos.com – Pengawasan peredaran jajanan chiki ngebul alias cibul terus diperkuat menyusul banyaknya anak yang jadi korban. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyerahkan tugas itu sepenuhnya kepada dinas kesehatan (dinkes) daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anas Ma’ruf mengatakan, dalam pengawasan di lapangan, dinkes tak akan sendiri. Ada pihak puskesmas serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang turut menyertai. Dinkes dan BPOM juga diwajibkan memberikan edukasi dan menyampaikan Surat Edaran (SE) Kemenkes terkait Pengawasan terhadap Penggunaan Nitrogen Cair pada Produk Pangan Siap Saji ke masyarakat. Dalam aturan itu, pedagang direkomendasikan tidak menggunakan nitrogen cair untuk pangan jajanan siap saji. ”Mengingat bahayanya pada yang mengonsumsi,” ujarnya kemarin (14/1).
Seperti diketahui, nitrogen cair ini bisa mengakibatkan radang dingin dan luka bakar jika terkena kulit. Bukan hanya itu, bila dikonsumsi, dapat mengakibatkan luka lambung. Uap yang dihasilkan pun bila terus-menerus terhirup berisiko mengakibatkan sesak napas.
Edukasi tentang cibul diharapkan menyasar ke sekolah-sekolah. Sebab, yang banyak mengonsumsi cibul adalah anak-anak. Selain itu, kebanyakan pedagang berjualan di area sekitar sekolah. ”Agar anak-anak tidak mengonsumsi cibul,” tegasnya.
Disinggung soal update kasus, Anas mengatakan, pelaporan terus dipantau melalui kanal yang sudah eksisting di pusat. Update kemudian akan disampaikan melalui rilis/konferensi pers Kemenkes.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar meminta seluruh kementerian/lembaga terkait tak menganggap enteng kasus cibul. Apalagi, sudah ada korban anak-anak. ”Kami sudah menginformasikan juga dengan kementerian teknis, dalam hal ini Kemenkes,” ujarnya (13/1).
Dalam rumus perlindungan anak, kata dia, penetapan kejadian luar biasa (KLB) yang dilakukan oleh Kemenkes harus dibarengi dengan penanganan sesuai dengan UU 35/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak. Di antaranya, akses pelayanan kesehatan serta jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
”Ada tahapan yang harus dilakukan. Karena kalau sudah bagian dari KLB, maka di rumus perlindungan anak, KLB itu masuk dalam anak dalam situasi darurat,” tegasnya.
Nahar juga mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ikut ambil bagian. Sebab, kebanyakan kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Harus ada edukasi ke satuan pendidikan dan para penjual di sekitarnya. ”Karena satu masalah itu tidak tunggal penanganannya. Jadi, harus diwaspadai pula oleh yang punya kuasa di satuan pendidikan,” pungkasnya.
Credit: Source link