JawaPos.com – Pemerintah punya keinginan kuat agar Indonesia berperan dalam energi hijau yang belakangan populer karena dijawantahkan melalui program pemanfaatan kendaraan listrik. Apalagi, Indonesia kaya akan nikel yang merupakan bahan penting pembuatan baterai kendaraan listrik. Diperkirakan, Indonesia punya 11,7 miliar ton bijih nikel dan cadangannya mencapai 4,5 miliar ton.
Dalam Mining and Finance Forum di The Dharmawangsa, Rabu (8/3), Presiden Direktur PT. Ceria Nugraha Indotama, Derian Sakmiwata mengatakan, Indonesia adalah raja nikel. Oleh sebab itu, dia serius dalam menggarap potensi nikel di Indonesia. “Kami ingin membuat sampai lini baterai,’’ ujarnya.
Ceria akan mengembangkan fasilitas pengolahan dan pemurnian yang dapat mengokah bijih nikel kadar tinggi (saprolite) dan bijih nikel kadar rendah (limonite) yang memiliki kandungan cobalt yang baik dengan menggunakan 2 teknologi. Bijih saprolite diolah menggunakan teknologi RKEF terkini, yaitu rectangular RKEF dengan kapasitas 72MVA untuk setiap linenya, sementara bijih limonite akan diolah dengan menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL).
Saat ini, dia menyebut Ceria sedang membangun line 1 smelter dari target 4 smelter RKEF dengan tungku persegi panjang 72 MVA dengan kapasitas produksi FeNi 252.700tpa dengan kadar 22 persen nikel. Nanti, kapasitas produksi smelter itu akan mengandung logam Nikel sebanyak 55.600 ton pada produknya.
Fasilitas HPAL akan dibangun secara bertahap dan diharapkan dapat memiliki kapasitas produksi total sebesar 312,000 ton mixed hydroxide precipitation (MHP) yang di dalamnya terkandung 120,000 ton nikel dan 12,300 ton cobalt.
Ceria melihat pengembangan smelter RKEF dan HPAL sebagai tahapan pengembangan awal menuju hilirisasi nikel. Ceria merencanakan pengembangan yang terdiri atas 5 tahapan pengembangan proyek pengolahan dan pemurnian bijih nikel. Untuk bijih nikel saprolite yang diolah melalui smelter RKEF dan memproduksi ferronickel akan dilanjutkan pengolahannya hingga memproduksi nickel matte sampai produk pengolahan antara akhir nickel sulphate.
Sementara bijih limonite yang diolah melalui pabrik HPAL untuk memproduksi MHP akan dilanjutkan sampai nickel sulphate, lalu dilanjutkan menjadi precursors (katoda dan anoda) yang hasil akhirnya adalah battery cells dan battery pack. ’’Kami berkomitmen untuk mendukung program net zero emission pemerintah pada 2060. Kami dalam proses membangun pabrik untuk baterai,’’ imbuhnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, Ceria punya tujuan untuk menjadi pemain integral dalam upaya Indonesia untuk menjadi pusat produksi kendaraan listrik dan baterai global. Oleh sebab itu, dia juga berkomitmen pada praktik berkelanjutan dan inovasi teknologi.
Guna menginplementasikannya, Ceria berinvestasi dalam teknologi pemurnian yang akan memenuhi permintaan nikel dan kobalt. Apalagi, saat ini permintaannya terus meningkat di seluruh dunia yang bermuara pada percepatan transisi energi hijau dengan output green product.
“Ceria adalah perusahaan pertambangan dan pemurnian nikel dan kobalt yang mengutamakan efisiensi serta praktik berkelanjutan. Upaya ini sangat penting untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060 yang sudah menjadi kesepakatan pemerintah pada G20, 2022 Summit,’’ imbuhnya.
Dia juga berterimakasih kepada pemerintah yang memberikan dukungan lewat sindikasi bank nasional Indonesia seperti Bank Mandiri, Bank BJB, dan Bank Sulselbar untuk pembiayaan pembangunan smelter line 1 RKEF Ceria.
“Selama ini permodalan menjadi permasalahan banyak perusahaan tambang yang akan melakukan kegiatan hilirisasi, tetapi kami bersyukur karena Ceria terbantu oleh bank himbara dan bank daerah berkat dukungan penuh pemerintah melalui upaya market sounding-nya, oleh karenanya kami sangat berterima kasih akan hal tersebut” kata Derian.
Selain itu, peran pemerintah juga sangat penting dalam hal ketersediaan pasokan listrik bagi proyek yang sedang dilakukan Ceria. “PLN sebagai perusahaan negara telah memberikan jaminan pasokan listrik dengan fasilitas premium platinum untuk kami,’’ terangnya. Sebagai salah satu perusahaan yang mengerjakan program hilirisasi, proyek Ceria juga diberi status obyek vital nasional dan obyek strategis nasional.
Dalam pengerjaan proyeknya, Ceria juga menggandeng Marsh Indonesia sebagai asuransi penjamin. Menurut Derian, tanpa adanya asuransi sebagai penjamin, proyek smelternya tidak bisa mendapatkan pembiayaan dengan baik. ’’Bank melihat keamanan, bahwa project ini nanti bagimana. Ceria bekerjasama dengan Marsh untuk meng-cover hal-hal yang tidak diinginkan. Ini akan mem-boosting confidence bank saat memberikan kredit,’’ jelasnya.
Credit: Source link