DENPASAR, BALIPOST.com – Megawati Soekarnoputri saat Seminar Haluan Pembangunan Bali Masa Depan 100 Tahun, pada 5 Mei lalu secara lugas meminta agar pembangunan hotel dan sarana wisata dikendalikan, bahkan distop. Tapi permintaan Megawati ini nampaknya tidak akan bisa dipenuhi. Bali masih terus diserbu investor tanpa kuasa menolak.
Saat menjadi narasumber utama, Megawati dengan jelas menyebut agar pembangunan hotel dihentikan. “Lah terus mau jadi apa, saya juga marah sama beliau (Wayan Koster,red), sudah berhenti itu bikin hotel-hotel,” tegasnya ketika itu.
Megawai meminta agar jangan sampai Bali menjadi seperti Hawaii. Kenyataannya, pembangunan hotel di Bali kini terus dilakukan. Bahkan menimbulkan konflik di masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Bugbug Karangasem, ketika hotel di bangun di sekitar Bukit Gumang.
Ketua IHGMA Bali Dr. Yoga Iswara, menyebutkan bahwa Bali masih menjadi magnet kuat investor membangun sarana akomodasi pariwisata seperti hotel dan vila. “Bali masih diminati investor untuk membangun akomodasi pariwisata,” ujarnya. Yoga tidak memungkiri, jika investasi di pariwisata tidak dikendalikan, sangat mungkin Bali akan rusak.
Jika Bali rusak, maka pariwisata juga akan ikut rusak bahkan mati. Gejala kearah itu sudah mulai nampak, misalnya dalam soal kerusakan alam, kemacetan, sampah hingga perang tarif hotel. Karena nafsu keruk keuntungan dari pariwisata, apa saja diboelhkan, ujungnya justru pariwisatanya yang mati. Jika ini terjadi, istilahnya, kata Yoga, tourism kill tourism.
Saat pandemi Covid-19 melanda, banyak pihak menyarankan Bali melakukan evaluasi total terhadap dampak pariwisata. Ada masa jeda yang bisa digunakan untuk menghitung ulang, seberapa kuat sesungguhnya daya tahan Bali atas daya rusak pariwisata.
Sayangnya ketikan pandemi yang banyak diributkan adalah bagaimana agar wisatawan asing segera dapat datang ke Bali. Tekanan terus diberikan kepada pengambil kebijakan untuk membuka pintu kepada wisatawan mancanegara. Tidak ada yang sungguh-sungguh melakukan upaya bagaimana Bali diselamatkan pasca pandemi.
Namun, menyimak atas realitas pernyataan pimpinan di tingkat kabupaten, ternyata memang perizinan sarana akomodasi wisata tidak sepenuhnya berada di daerah. Contoh, kasus sarana wisata di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur. Karena kawasan ini adalah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka izin dikeluarkan Kementerian. Kabupaten Bangli tidak kuasa menolak.
Sesungguhnya ada celah yang bisa digunakan pemerintah daerah untuk menolak investasi yang ternyata mengancam kelestarian alam atau kesucian. Celah itu adalah dalam soal persetujuan bangunan gedung (PBG). Pemda setempat dapat saja tidak mengeluarkan PBG atas pembangunan sarana wisata yang tidak memenuhi azas keharmonisan dan kelestarian lingkungan. (Winata/balipost)
Credit: Source link