DENPASAR, BALIPOST.com – Dari 2,62 juta penduduk Bali yang bekerja, baru 17,51% yang berpendidikan tinggi, baik diploma maupun universitas. Sementara dunia kerja Bali saat ini lebih banyak mempekerjakan lulusan SD ke bawah. Kondisi ini sangat miris, padahal Bali dikenal sebagai gudangnya SDM berkualitas dengan angka partisipasi kasar (APK) masuk perguruan tinggi di atas 40 persen.
Pengamat pendidikan Dr. A.A. Gede Raka, M.Si., Rabu (8/11) mengatakan cukup miris melihat angkatan kerja di Bali. Faktanya, dia melihat tiap bulan ada saja sarjana dan diploma yang diwisuda atau lulus. bahkan jumlahnya tak main-main hingga mencapai dua ribu satu universitas. ”Saya khawatir ke mana mereka terserap,” tegasnya.
Berdasarkan data Agustus 2023, penduduk yang bekerja dengan pendidikan SD sebanyak 838,49 ribu orang (32,07%), dan tamatan universitas sebanyak 323,08 ribu (12,34%). Pekerja tamatan diploma sebanyak 135,21 ribu (5,17%).
Sedangkan data Agustus 2022, dengan jumlah penduduk yang bekerja 2,61 juta orang, menunjukkan 330.567 orang (12,68%) pekerja merupakan lulusan universitas dan SD sebanyak 807.727 orang (30,98%).
Rektor Dwijendra University, Prof. Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., MMA., juga mempertanyakan profile angkatan kerja di Bali masih didominasi lulusan SD ke bawah. Untuk itu kalangan pendidikan menengah dan perguruan tinggi perlu evaluasi diri mengapa Bali sulit menempatkan angkatan kerja didominasi lulusan perguruan tinggi.
Bagi dia, angka sarjana yang lulus di Bali tak semua datang dari Bali, banyak dari NTB dan NTT. Setelah tamat dia kembali ke daerahnya. Alasan kedua, angka itu hanya tercatat di sektor formal, bisa jadi ya, karena lulusan sarjana banyak juga diserap sektor informal yang tak terdata. Bahkan ada bekerja online. Makanya tak bisa dijadikan bahwa lulusan PT angka penganggurannya tinggi.
Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Bali, A.A. Gede Dirga Kardita mengatakan, pada Agustus 2023, persentase penduduk bekerja berpendidikan SD ke bawah meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Sedangkan persentase penduduk bekerja lulusan universitas menurun dibandingkan Agustus 2022. Sementara dalam menghadapi persaingan ke depan di era teknologi dan informasi dibutuhkan penduduk yang memiliki pendidikan atau keahlian khusus yang notabene didapatkan di pendidikan tinggi.
Statistisi Ahli Madya BPS Bali Kadek Muriadi sebelumnya mengatakan, untuk beberapa tahun belakangan sudah mulai pengangguran dengan pendidikan yang tinggi cenderung turun lebih cepat. Ini sesuai dengan kondisi Bali bahwa sekarang membutuhkan skill tinggi di era teknologi informasi dan komunikasi. “Yang kompatibel dengan informasi dan komunikasi memang terserap lebih cepat. SD itu semakin ke sini, semakin banyak pengangguran, tamatan SMP juga demikian. Data ini memberikan signal bahwa betapa pentingnya pendidikan di era teknologi informasi dan komunikasi ini,” ujarnya.
Secara persentase, proporsi tamatan perguruan tinggi memang cukup rendah dibandingkan tenaga kerja secara total. “Tingkat pengangguran SD semakin tinggi. Jadi, jangan biarkan anak-anak kita hanya tamat SD karena akan sulit mendapat pekerjaan. Tapi realitanya, ada juga engga perlu pendidikan tinggi, yang penting disuruh bikin web bisa. Walaupun pendidikannya SD tapi itu kasuistik, namun secara umum pendidikan yang rendah itu lebih sulit mendapat pekerjaan. Sementara tamatan SMK dan perguruan tinggi trend-nya cenderung menurun jadi lebih mudah terserap,” imbuhnya.
PDRB per kapita Bali masih di bawah PDRB per kapita Indonesia. Hal ini bisa menjadi penyebab bonus demografi belum dinikmati Bali karena produktivitas yang lebih rendah. Maka tantangan Bali adalah meningkatkan produktivitas dalam 10 tahun ke depan untuk dapat menikmati bonus demografi.
Akademisi dari Primakara University, I Made Artana mengatakan, produktivitas tenaga kerja menjadi PR dalam bidang ketenagakerjaan. “Berapa juta yang dihasilkan oleh satu tenaga kerja dalam satu waktu. Perlu dikaji kenapa produktivitas kita di Bali itu rendah? Dugaan karena banyak yang bekerja di sektor informal, bekerja paruh waktu sehingga jika dihitung secara rata-rata produktivitasnya rendah,” ujarnya.
Akademisi Kependudukan dari Universitas Udayana, A.A. Marhaeni mengatakan, belum tentu pekerja lulusan SD yang dominan atau lebih banyak dari lulusan pendidikan tinggi mengindikasikan kualitas SDM Bali rendah. “Karena kualitas SDM tidak hanya ditentukan oleh pendidikan formal yang diukur dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Tapi juga sekarang ini sangat ditentukan oleh kompetensinya, keterampilan yang dimilikinya,” ujarnya. (Sueca/Citta Maya/balipost)
Credit: Source link