La Giralda di belakang Katedral Sevilla
Sore itu, saya tiba di Kota Sevilla, Sanyol. Waktu menunjukkan pukul 19.30, masih ada waktu lebih dari sejam sebelum matahari terbenam. Angin semilir terasa segar menerpa badan, setelah beberapa saat sebelumnya berkeliling melihat keindahan dan kecantikan kota dengan kendaraan roda empat.
Dari beberapa bangunan tua yang indah, saya tahu sedang berada persis di jantung kota Sevilla, ibukota wailayah otonomi Andalusia, Spanyol. Sebuah kota yang terkenal dengan peradabannya di masa silam, namun kini juga kesohor karena memiliki klub sepakbol yang mampu menempel ketat dua raksasa La Liga, Real Madrid dan Barcelona.
Musisi jalanan terlihat asyik memainkan alat musiknya di beberapa sudut kota dan alun-alun, seolah tidak mengharapkan ada lemparan uang receh dari para pejalan kaki. Kereta tour city terus melintas membawa para wisatawan dari berbagai negara berkeliling kota yang terletak di pinggir sungai Guadalquivir ini. Guadalquivir, sungai terpanjang di Spanyol (657Km) berasal dari kata Bahasa arab, Wadi Alkabir yang berarti sungai besar.
Beberapa saat berjalan sambil mengamati keindahan kota, saya tiba dekat sebuah halaman dengan kolam kecil di belakang Katedral peninggalan abad pertengahan. Katedral de Sevilla namanya. Arsitektur Katedral ini klasik dan megah, beberapa bagian samping ditutup jaring, sedang direnovasi.
Hamid Melara Kzaini, rekan yang menjemput saya dari Bandara Malaga dan menemani berkeliling kota Sevila, menunjuk ke arah menara katedral. Tinggi menjulang, saya harus mengunakan tangan menutup separuh penglihatan untuk bisa menatap jelas menara yang tersorot matahari senja.
Inilah La Giralda yang menjadi salah satu ikon Sevilla. Sebuah menara pencakar langit yang dibangun pada abad ke-12, saat kota ini berada di bawah kekuasaan muslim. Menara dengan tinggi 104,5 meter yang kini menjadi bagian dari Katedral Sevilla ini semula merupakan menara masjid agung, tempat berkumandangnya adzan sekaligus observatorium. Angan saya pun jauh melayang ke masa kejayaan Islam di Spanyol berabad-abad silam.
La Giralda merupakan rancangan dari Ahmad Ibn Baso, arsitek pada masa Khalifah Abu Ya’qub Yusuf di tahun 1184. Abu Ya’qub Yusuf merupakan raja dari dinasti Muwahhidun (Almohad) yang menjadikan Sevilla sebagai Ibukota. Merujuk pada periode sejarah kejayaan Islam di Andalusia pada 711 sampai 1492, masa Abu Ya’qub Yusuf berada pada periode kelima, dimana Islam di Spanyol sudah terpecah-pecah ke dalam beberapa dinasti, dengan dinasti Muwahhidun di Sevilla sebagai salah satu kekuatan dominan.
Pembangunan menara tanpa tangga agar bisa dilewati kuda ini, rampung pada 1198. Setelah berdiri, bangunan ini kemudian menjadi tertinggi di Sevilla selama berabad-abad. Ilmuwan matematika dan astronomi yang dikenal sebagai perumus konsep trigonometri, Jabir ibn Aflah (Geber) disebut-sebut ikut andil dalam proses pendesainan Giralda. Menara ini, bisa disebut sebagai kado megah peninggalan kejayaan Islam di Andalusia. Menara ini disebut-sebut paling indah dari tiga menara peninggal dinasti Almohad yang tersisa. Dua menara lainnya masing-masing berada di Maroko, yaitu di kota Rabat dan Marakesh.
Karena kemegahan dan keunikan Menara ini pulalah, sepertinya mendorong Raja Alfonso X mencegah penghancuran Giralda ketika Kerajaan Kristen menguasai Sevilla setelah menjatuhkan kekuasaaan Muslim di pada 1248. Alfonso X bahkan pasang badan, mengancam akan membunuh siapapun yang berani merobohkan menara indah itu.
Di masa kerajaan katolik, masjid Sevilla kemudian diubah menjadi gereja. Tidak ada lagi azan berkumandang dari atas Menara. Dan, ketika gempa bumi berkekuatan besar mengguncang pada 1356, komplek bangunan masjid yang telah berubah menjadi gereja itu kemudian rusak parah. Hebatnya, Giralda tetap berdiri tegak, meski sfera tembaga yang menjadi bagian dari atas kubah menara ini jatuh akibat goyangan bumi.
Seandainya Giralda tak tetap berdiri kokoh terkena guncangan hebat gempa kala itu, mungkin saat ini orang tidak akan pernah tahu bahwa di Sevilla pernah ada masjid Agung, seperti di beberapa kota lain yang menjadi pusat kejayaan kerajaan Islam di Andalusia di masa lalu. Soal jejak Mesjid dari masa kejayaan Muslim di Andalusia, Sevilla bisa dikatakan berbeda dengan Cordoba, Ibukota Kerajaan Andalusia di masa Bani Umayyah.
Mezqueta Cordoba yang dibangun secara bertahap mulai 787 M dan sempat saya kunjungi sehari setelah dari Sevilla, terlihat arsitektur keaslian mesjidnya masih cukup dominan. Ini terjadi karena saat masjid yang menyerupai Masjid Madinah ini diubah menjadi Katedral Cordoba pada masa kerajaan katolik, pada bangunan lamanya hanya dilakukan perubahan minor. Bahkan mihrab asli di masa ke-khalifahan Andalusia pun masih dipertahankan.
Sementara saat Katedral Sevilla didirikan pada 1401di masa kejayaan kekuasaan keuskupan di Eropa, mayoritas bangunannya adalah desain baru yang berdiri di atas puing-puing masjid yang rusak akibat gempa. Hanya La Giralda yang berdiri kokoh dan dan beberapa bagian kecil bagian masjid yang saat ini ada di balik kemegahan Katedral.
Katedral Sevilla yang disebut juga Katedral Santa Maria dari Tahta, rampung dibangun pada awal abad 16. Sebuah bangunan megah dan kini menjadi salah satu ikon kota Sevilla. Menara Giralda yang menjadi bagian Katedral, menambah kokoh katedral Gothik terbesar dan gereja terbesar ketiga di dunia ini.
Pada 1568, di masa Renaissance, arsitek Hernán Ruiz the Younger memodifikasi Giralda. Pada bagian atas menara ini, ditabahkan atap dan 17 tangga ke puncaknya sebagai tempat menaruh lonceng. Ada 25 lonceng besar dan kecil yang bergantung di empat sisi atas menara.
Di bagian teratasnya, juga ditambahkan patung perunggu dengan baling-baling penunjuk cuaca/angin, dikenal sebagai el Giraldillo, yang berarti dia yang berubah. Sejak itu lah, bekas menara adzan ini yang dimodifikasi Hernán Ruiz ini dinamakan La Giralda.
Selain menara, ada beberapa jejak bekas masjid di Kaderal Sevilla yang hingga kini dipertahankan. Diantaranya bagian pintu samping yang dihiasi dengan kaligrafi arab. Kemudian Patios de los Naranjos, taman besar yang dihiasi pepohonan jeruk dan air mancur yang dulunya digunakan sebagai tempat berwudhu.
Katedral Sevilla memiliki panjang 126 meter dengan lebar 83 meter dan ketinggian atap 37 meter ini. Di dalamnya, ada makam pelaut legendaris yang disebut-sebut penemu benua Amerika, Christopher Colombus. Nama besar Colombus sempat mencuri perhatian saya ketika melewati gedung Archivo de Indias (gedung arsip laporan perjalanan Colombus ke benua baru yang kemudian dikenal sebagai Amerika) yang berada di samping Katedral saat awal menapakkan kaki di Kota Tua Sevilla. Archivo de Indias dan Katedral Sevilla ini juga berdampingan dengan istana indah peninggalan kerajaan Islam, The Real Alcazar de Sevilla.
Alcazar, bersama gedung Archivo de Indias dan Katedral Sevilla dengan menara La Giralda-nya, telah ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Dunia pada 1987. Warga kota ini pantas bangga memiliki bangunan-bangunan megah dan bersejarah tersebut.
*****
Cuaca Sevilla memang sedang “enak-enaknya” karena sedang berada di penghujung musim semi saat saya menapakkan kaki di kota ini, akhir Mei lalu. Wisatawan mancegara pun sedang ramai-ramainya berdatangan ke kota ini, sebagai salah satu destinasi yang menawarkan keindahan dari perpaduan masa lalu dan modern Andalusia, salah satu daerah pariwisata andalan Spanyol saat ini. Saya pun harus mengikuti antrian panjang para turis yang akan memasuki pintu masuk ke dalam istana Alcazar melalui Plaza del Triunfo dari sisi gerbang utama The Lion’s Gate atau gerbang singa.
Alcazar, kata serapan Spanyol dari bahasa Arab ”Qasr” yang berarti istana benteng, mungkin merupakan bangunan terindah peninggalan kejayaan Islam di Eropa. Alcazar mulai dibangun di masa keemasan kekahlifahan Andalusia ketika muslim menaklukkan Sevilla pada 844 di era pemerintahan Abdurrahman III yang berusat di Cordoba. Alcazar berdiri di atas bekas basilika dan mengubahnya menjadi benteng sekaligus istana. Pada abad ke-11 ketika Sevilla menjadi kerajaan muslim yang otonom, Alcazar diubah total peruntukkannya menjadi istana. Dinasti Muwahhidun yang menjadikan Sevilla sebagai Ibukota, memembuat Alcazar menjadi lebih megah dengan relief yang indah dan kaligrafi islam. Alcazar diberinama istana Al Mubarak.
Untuk bisa masuk melihat kemegahan dan keindahan Alcazar, dikenakan tarif 9.5 eoru per perorang. Setelah memasuki gerbang istana, ada halaman yang luas untuk memulai mengamati tiap belahan bangunan Istana yang hingga kini masih dihuni oleh para keluarga kerajaan Spanyol. Jejak kerajaan Islam dengan mudah bisa dilihat dari dinding pintu utama bangunan Istana yang dihiasi ukiran kaligrafi arab.
Meskipun Istana sudah direnovasi seiring zaman dan perubahan kekuasaan, relief Islam masih cukup mendominasi Alcazar. Kemegahan dan keindahan setiap ruangan istana ciri khas arsitektur muslim juga masih mendominasi bagian dalamnya. Hal itu sepertinya terjadi karena saat Sevilla kembali jatuh ke tangan kekuasaan katolik, Istana ini baru rampung dibangun.
Baru sekitar seabad setelah Sevilla berada di bawah kekuasaan kerajaan Katolik, tepatnya pada pada 1248, Raja Alfonso X memutuskan untuk merenovasi Alcazar. Konon, kekaguman sang raja pada arsitektur islami yang ada di Alcazar, membuatnya tetap mempekerjakan muslim yang ada di Andalusia demi menjaga kecantikan istana. Alhasil, kemegahan, keindahan dan kecantikan Alcazar yang bisa dilihat kini, merupakan perpaduan luar biasa antara seni arsitektur dan relief khas Islam dengan gotik, renaissance, dan baroque yang menakjubkan.
Di bagian Istana, ada ruang terbuka berupa taman dan kolam. Ruang terbuka dinamakan Patio de las Doncellas atau The Courtyard of the Maidens, yang berarti taman para perawan. Siapapun yang melihatnya pasti berdecak kagum. Bagian lain dalam Istana yang megah adalah aula yang dinamakan Hall of Ambassadors. Ruang utama istana tempat raja menerima tetamunya. Bagian atasnya ditutupi dengan kubah megah dari kayu yang berlapis emas. Dinding ruangan ini dipenuhi oleh ukiran-ukiran dan dekorasi indah hingga atas kubah. Jika berada di ruangan ini, dijamin tidak akan pegal menengadahkan kepalanya mengamati setiap jengkal ukiran dan dekorasi hingga atas kubah.
Keindahan mahakarya The Real Alcazar disempurnakan oleh taman indah dan luas di bagian belakangnya. Aroma jeruk dari pohon-pohon yang sedang berbuah ranum, aneka bunga yang sedang mekar dan gemiricik air yang mengalir dari air terjun mini dari atas istana membuat taman ini sungguh nyaman dan menyegarkan mata.
Di sebelah taman, ada sebuah tangga untuk naik ke sebuah koridor untuk menikmati keindahan taman secara keseluruhan dari sisi atas. Koridor melengkung ini sekaligus menjadi pembatas taman. Dari ujung lengkungan koridor atas itu, saya mendapatkan view yang menawan. Melihat air terjun mini mengalir dari atas Istana megah ke kolam taman belakang dan di kejauhan sana, terlihat menara tinggi Katedral de Sevilla, La Giralda.
*****
Hari makin senja ketika saya menatap agak lama La Giralda dari belakang Katedral Sevilla. Angan sempat pun melayang jauh saat kerajaan Islam berjaya di kota ini. Membayangkan suara adzan berkumandang dari atas menara itu hingga menjalar ke penjuru kota, dan kemudian dan orang-orang muslim berduyun-duyun memasuki masjid, mengambil wudhu di Patios de los Naranjos sebelum solat berjamaah.
Imajinasi sejarah saya pada Giralda berhenti ketika rekan-rekan memanggil dari kejuahan. Saya pun bergegas melangkahkan kaki menyusul karena kami sudah ditunggu dua rekan kami warga Spanyol , Ibrahim Hernandez dan Abdul Ghani Melara—ayah dari Hamid yang menemani saya saat berkeliling Spanyol—di restoran kecil khas India, Jaipur. Restoran kecil ini persis berada di samping Metropol Parasol Plaza de la Encarnacion.
Saya sempat keindahan Metropol Parasol, mahakarya teranyar di kota Sevilla. Bangunan berbentuk jamur raksasa dan payung bergelombang dengan struktur kayu termegah di dunia ini adalah karya arsitektur J.H. Mayer asal Jerman, rampung pada 2011. Bangunan yang menjadi ikon baru Kota Sevilla ini memliki fungsi sebagai situas arkeologi, pasar, bar dan restoran. Karya seni ini seolah hendak menegaskan bahwa inilah Sevilla, kota indah dan modern yang lahir dari pergumulan lintas peradaban yang panjang.
Usai makan malam sekitar jam 21.00, kami bergegas meninggalkan restoran Jaipur karena waktu magrib telah tiba. Dua rekan Spanyol mengantarkan membawa kami menyisir jalanan besar dan kecil, melewati beberapa pertokoan, café dan gereja, dan setelah sekitar 15 menit, sampailah kami disebuah bangunan yang mirip ruko. Bangunan berlantai dua ini ternyata sebuah mushola. Di depan bangunan saya sempat membaca tulisan Mezquita Sevilla Foundation (Yayasan Mesjid Sevilla). Ada perpustakaan kecil setelah pintu masuk. Sekitar sepuluh orang laki-laki dan beberapa perempuan di balik sekat sudah berada ruangan mushola di lantai dua yang kira-kira berkapasitas 50 orang. Mereka bersiap menunaikan shalat magrib berjamaah.
Setelah mengambil wudhu di ruangan kecil lantai bawah, saya melirik Abdul Ghani yang menganti setelan jasnya dengan pakaian jubah dan mengikatkan sorban di kepala. Rupanya dia sedang bersiap menjadi imam shalat magrib. Di waktu bersamaan, salah seorang jamaah melantunkan adzan Magrib, tanpa pengeras suara.
Mendadak saya teringat dengan La Giralda yang belum lama saya tatap. Sembilan abad silam di kota ini, gema Adzan berkumandang dari menara megah nan tinggi itu, namun sekarang hanya terdengar bergaung di ruangan sebuah bangunan mirip ruko. Saya pun menunduk sambil menunggu qomat maghrib.
TAGS : La Giralda Sevilla Andalusia
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/18008/Senja-di-Sevilla/