Ilustrasi Air (foto: CGTN)
Jakarta, Jurnas.com – Senyum cerah terpancar dari wajah Intan Fitriana Fauzi, anggota Komisi V DPR, ketika menyapa awak media usai diskusi publik yang diadakan PBNU di Jakarta, (31/07) lalu. Anggota tim perumus Rancangan Undang Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) ini optimis RUU SDA bisa disahkan sebelum periode legislatif 2014-2019 berakhir.
“Kami optimis RUU SDA akan selesai. Karena hanya tinggal (menyepakati) satu DIM saja. Ini terkait dengan pengelolaan Sistem Pengadaan Air Minum (SPAM),” ujar anggota DPR dari Fraksi Amanat Nasional ini.
Senada dengan Intan, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU SDA, Lazarus, juga menegaskan pembahasan RUU SDA tinggal menyisakan kesepakatan di satu pasal terkait SPAM. “Perdebatan masih terjadi terkait pasal 51. Panja masih akan berkonsultasi lebih lanjut terkait penafsiran partisipasi swasta dalam pengusahaan SPAM,” kata anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini beberapa waktu lalu, di Gedung DPR, Jakarta.
Penegasan kedua anggota Komisi V DPR ini seolah menegaskan jalan RUU SDA menuju pengesahannya sebagai Undang-Undang berjalan mulus. Karena hanya tersisa satu DIM yang belum disepakati oleh DPR dan pemerintah, yakni DIM nomor 408 atau pasal 51.
Tapi benarkah demikian? Dalam kenyataannya tidak. Perdebatan panjang khususnya terkait boleh tidaknya swasta dilibatkan dalam pengelolaan air menjadikan jalan RUU SDA menuju ketok palunya sebagai undang-undang sangat terjal. Tidak menutup kemungkinan ini menjadikan RUU SDA batal disahkan dalam periode legislatif 2014-2019.
Pemberangusan Peran Swasta
Apa sesungguhnya yang diatur dalam Pasal 51 RUU SDA sehingga perdebatan antarfraksi di Panja RUU SDA sangat tajam dan menegangkan?
Pasal 51 atau DIM No. 408 RUU SDA mengatur ijin penggunaan sumber daya air (SDA) untuk kebutuhan usaha. Awalnya, baik pemerintah maupun DPR sudah menyepakati keterlibatan swasta dalam ijin penggunaan SDA. “Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.”
Namun, pada rapat Panja RUU SDA yang berlangsung 8 Juli 2019, anggota Dewan meminta dilakukan revisi terhadap pasal 51 ayat (1) RUU SDA dengan melarang keterlibatan swasta dalam pengelolaan SDA. Sehingga draft baru DIM No. 408 atau Pasal 51 ayat (1) direvisi menjadi: “Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usah milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM.”
Revisi ini sontak menimbulkan kontra di masyarakat, khususnya dari dunia usaha. Melalui pasal 51 pemerintah seolah menasbihkan diri dalam penguasaan dan pengusahaan air secara mutlak. Dengan penguasaan mekanisme ijin, pemerintah mengatur dan memberi persyaratan ketat dengan memperhatikan pembatasan sesuai putusan MK.
Sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan kekecewaan mereka atas revisi pasal 51 tersebut. Hariyadi Sukamdani, Ketua Apindo, menegaskan penguasaan dan pengusahaan air oleh pemerintah menjadikan hilangnya peran sektor swasta yang merupakan leading sector dan meningkatkan perekonomian.
“Kehadiran pihak swasta dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur perpipaan air bersih yang harganya relatif mahal. Ini untuk mengatasi keterbatasan anggaran pemerintah dalam menyediakan air bersih. Kalau swasta dilarang, pemerintah harus menganggarkan dalam APBN ratusan triliun rupiah untuk membangun jaringan SPAM di seluruh Indonesia untuk mencapai target akses 100 persen masyarakat atas air minum,” kata Hariyadi dalam Konferensi Pers di Kantor Apindo, Jakarta (23/07/19).
Penghilangan peran swasta, tambah Hariyadi, akan berdampak pada penurunan investasi dan penurunan pendapatan Negara. Selain itu, juga dapat membatalkan beberapa proyek air minum SPAM yang sedang dikembangkan dan sudah dioperasikan oleh swasta di beberapa kota.
“Peran Negara kan sama sekali tidak diabaikan karena negara yang mengeluarkan izin. Berdasarkan UUD 45 pasal 33 air itu dikuasai oleh negara, tetapi yang dikuasai itu izinnya. Jadi bukan dengan menghilangkan peran swasta. Apalagi fatwa MK juga memperbolehkan swasta dengan syarat tertentu dan ketat. Kalau ternyata swasta macam-macam, cabut saja izinnya,” tegas Hariyadi.
Pengurus Apindo lainnya, Danang Girindrawardana juga mempertanyakan pelarangan swasta dalam pengelolaan air. “Penguasaan Negara terhadap air bukan berarti menguasai. Tetapi bagaimana caranya agar Negara bisa mendelegasikan kepada swasta dan bukan dikuasai sepenuhnya oleh Negara,” tegas Danang dalam acara Diskusi Trijaya FM di Jakarta, (10/7/19).
Persoalan target akses 100 persen masyarakat atas air minum tentunya bukan persoalan kecil. Ini adalah masalah strategis yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan air bersih atau air minum rakyat. Sesuai Sustainable Development Goals (SDG), pada 2022 pemerintah harus dapat memenuhi 100 persen kebutuhan masyarakat atas air.
Bila peran swasta dibatasi, bagaimana pemerintah dapat membangun jaringan SPAM di seluruh Indonesia dengan keterbatasan anggaran yang tersedia dalam APBN? Lagipula, masuknya swasta dalam pengelolaan dan penyediaan air bersih, tidak berarti menutup akses masyarakat dalam mendapatkan sumber air yang layak konsumsi. Karena tentunya akan ada pengaturan sumber mata air yang tetap dapat diakses langsung.
Selain itu, persoalan lain yang tidak bisa dinafikan adalah kesiapan BUMN, BUMD dan BUMDes untuk mengambil alih peran sebagai penyedia jaringan SPAM di seluruh Indonesia. Apakah BUMN, BUMD dan BUMDes mampu memenuhi target akses 100 persen masyarakat atas air minum
Danang Girindrawardana mengkhawatirkan kewajiban swasta harus bekerjasama dengan BUMN, BUMD dan Bumdes dalam pengelolaan air. “Bayangkan ada berapa banyak industri yang membutuhkan air yang bergerak di Negara ini. Kalau ada 2 juta unit usaha yang membutuhkan air dan harus bekerjasama BUMN, berarti ada 2 juta BUMN dan BUMD yang harus bekerjasama dengan pihak swasta. Bagaimana menjelaskan persoalan ini?” ujarnya.
Ia menegaskan dunia usaha bergerak sangat dinamis dan tumbuh pesat 60 persen per tahun. “Kami khawatir bagaimana BUMN, BUMD dan BUMdes bisa mengimbangi pertumbuhan yang pesat di dunia usaha. Ini menjadi concern kami,” kata Danang.
Sementara itu, kekhawatiran tentang larangan keterlibatan swasta dalam pengelolaan air juga disampaikan Rachmat Hidayat, Ketua Asosiasi Pengusaha Air Minum dalam Kemasan (Aspadin). Rachmat menyatakan izin air minum dalam kemasan (AMDK) tidak bisa disamakan dengan SPAM. “AMDK merupakan produk manufaktur, produk gaya hidup (lifestyle). Jangan samakan regulasi produk manufaktur dengan SPAM yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” tegas Rachmat dalam acara Diskusi Publik di Kantor PBNU, di Jakarta, (31/07/19).
Menurut Rachmat, jika AMDK swasta dilarang menggunakan air sebagai bahan baku, bisa mematikan ratusan pelaku usaha dan ribuan tenaga kerja serta menghilangkan kepercayaan investor dan kepastian berusaha di Indonesia.
Untungnya kekhawatiran Rachmat sudah dijawab pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Ia menegaskan perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) akan diatur secara khusus dalam RUU SDA. “Pengaturan AMDK tidak disamakan dengan pengelolaan air berbasis SPAM. Kalau industri itu izinnya pemakaian air biasa, SIPA (Surat Izin Pengambilan Tanah),” ujarnya. DPR juga memastikan swasta tetap bisa berbisnis di sektor air, termasuk usaha AMDK. Ketua Panja RUU SDA, Lazarus, menyatakan hal itu sudah diatur di Pasal 50 RUU SDA.
Jangan Memiliki Semangat Anti-Industri
Tak hanya dunia usaha, salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, PBNU juga meminta agar swasta tetap diberi hak yg sama dalam pengelolaan air di Indonesia. Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. H. Maksum Macfoed, pada acara diskusi publik di kantor PBNU, Jakarta, (31/07/19).
“RUU SDA jangan sampai memiliki semangat anti industri, karena keberadaan industri tetap dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Maksum.
TAGS : RUU SDA Hak Atas Air
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/57882/Mampukah-UU-SDA-Penuhi-100-Persen-Hak-Rakyat-Atas-Air/