Ilustrasi susu kental manis (Foto: Istimewa)
Jakarta, Jurnas.com – Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, Nihayatul Wafiroh, mengatakan sebagai negara yang baru saja dimasukkan menjadi salah satu negara maju dan menjadi bagian dari G20, sangat ironis jika angka stunting di Indonesia masih saja tinggi.
Walaupun selama 10 tahun terakhir ini angka stunting sudah mengalami penurunan, namun dari hasil riset studi status gizi balita Indonesia (SSGBI) 2019 mencatat bahwa jumlah balita stunting di Indonesia saat ini mencapai 27,67 persen.
Artinya, terdapat 6,3 juta dari populasi 23 juta balita di Indonesia yang stunting. Jadi tidak heran jika Indonesia menempati urutan keempat di dunia dalam hal tingginya angka stunting, dan harus terus melakukan terobosan untuk mencapai target di tahun 2024 yaitu persentase stunting 14% (rekomendasi WHO angka stunting harus di bawah 20%). “Karenanya, hal ini perlu mendapatkan perhatian kita bersama mengatasi darurat stunting,” ujar Nihayatul.
Bahkan angka stunting dan gizi buruk di Indonesia diperkirakan naik signifikan akibat pandemi Covid-19. Pandemi ini menyebabkan sulitnya pemenuhan gizi anak selama masa tumbuh kembang mereka.
Ironisnya, dalam bantuan sosial yang dibagikan pemerintah kepada masyarakat salah satu isinya adalah krimer kental manis. Nihayatul menegaskan bahwa ini salah satu bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah stunting di negara ini.
Padahal, sejak akhir 2018 BPOM telah menegaskan fungsi dan kegunaan susu kental manis hanya untuk topping dan bahan makanan melalui PerBOM Nomor 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Melalui kebijakan itu juga disebutkan bahwa produk turunan susu tersebut tidak boleh diberikan untuk anak-anak karena kandungan gulanya lebih tinggi dibanding protein.
Nihayatul menyebut selama ini telah terjadibkesalahan informasi terkait khasiat susu kental manis (SKM). Akibatnya, masyarakat salah persepsi. SKM diiklankan sebagai produk susu yang sehat bergizi bagi anak-anak. Padahal, SKM memiliki kandungan gula yang tinggi.
“Jadi harus ada pengawasan dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). Masyarakat juga harus lebih aware karena kadang tidak membaca komposisi dan kandungan gizi dalam setiap produk,” katanya.
Apalagi akses pangan dan gizi semakin menjadi permasalahan di tengah masyarakat dengan adanya pandemi Covid-19 saat ini. Global Hunger Index 2018 merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa masalah kelaparan di Indonesia sudah berada pada level yang mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari jumlah skor kelaparan Indonesia yakni sebesar 21,9.
“Ironisnya, posisi Indonesia bahkan berada di peringkat 73 dunia dengan masalah kelaparan. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kecukupan gizi yang berimbas dengan tingginya stunting,” ujarnya.
Dia melihat edukasi dari pemerintah dalam hal ini Kemenkes belum sampai ke masyarakat mengenai literasi gizi. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di pesisir punya akses ke makanan bergizi tinggi seperti ikan dan makanan laut lainnya. Namun, banyak masyarakat ini yang menjual ikan untuk dibelikan mie instan dan susu kental manis yang tentunya kandungan gizinya rendah.
“Oleh karena itu, kembali lagi kami menekankan sangat pentingnya terus menerus meningkatkan literasi gizi dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat. Termasuk untuk susu kental manis yang masih dianggap susu bagi masyarakat kita. Media juga harus berperan penting meningkatkan literasi gizi ini dengan pendekatan yang komunikatif, edukatif dan bisa menjangkau masyarakat,” ucapnya.
Nihayatul melihat berbagai regulasi dari Kementerian Kesehatan dan juga Badan POM terkait kecukupan gizi dan label makanan tidak sampai pada tataran implementasi masyarakat. Padahal permasalahan stunting tidak hanya permasalahan sektor kesehatan, tapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi dan juga budaya, sehingga intervensi yang dilakukan harus komprehensif lintas sektoral dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat di tingkat komunitas.
“Sebagai contoh, literasi gizi masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Literasi gizi adalah faktor penentu dalam menentukan status gizi dalam suatu masyarakat. Karena itu, langkah awal dalam menyelesaikan persoalan masalah sunting adalah dengan memperbaiki tingkat literasi gizi masyarakat,” katanya.
TAGS : Susu Kental Manis Bantuan Sosial
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/72400/DPR-Sayangkan-Susu-Kental-Manis-Masuk-di-Bansos/