Pemandangan udara dari era Bizantium Hagia Sophia, salah satu tempat wisata utama Istanbul di distrik bersejarah Sultanahmet di Istanbul. (Kredit Foto: AP)
Washington, Jurnas.com – Uskup Agung Elpidophoros of America, Elpidophoros mengatakan, keputusan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk mengubah Hagia Sophia kembali menjadi masjid menandakan intoleransi kepada semua minoritas Turki.
“Ketika negara mendukung mentalitas sang penakluk, mengatakan bahwa `ini adalah hak saya untuk menaklukkan Hagia Sophia sebagai masjid`, maka ini mengirimkan sinyal yang salah kepada semua minoritas,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya English.
Elpidophoros mengatakan ada kecenderungan lama Presiden Erdogan untuk menekankan masa lalu Turki Ottoman, yang sekarang termasuk membalikkan tradisi mempertahankan Hagia Sophia sebagai monumen untuk semua warga negara Turki, dan memang seluruh dunia.
Hagia Sophia awalnya dibangun sebagai sebuah gereja di abad keenam tetapi diubah menjadi masjid hampir 1.000 tahun kemudian selama penaklukan Ottoman atas kota Konstantinopel yang sekarang dikenal sebagai Istanbul pada tahun 1453.
Bangunan ini telah beroperasi sebagai museum sejak 1935 setelah berdirinya Republik Turki sekuler.
Menurut profesor di Universitas Yale, Robert Nelson, Hagia Sophia secara simbolis cukup signifikan untuk semua orang Kristen Ortodoks. arsitektur dan karya seninya terkenal di dunia.
“Menurut saya, Hagia Sophia harus tetap menjadi museum,” kata Nelson dalam wawancara dengan Al Arabiya English, menambahkan bahwa pengumuman Erdogan untuk mengubahnya menjadi masjid adalah murni politis.
“Dari sudut pandang Erdogan, gerakan simbolis ini akan memenangkan banyak suara,” kata Nelson.
Erdogan menggunakan Hagia Sophia untuk mendapatkan dukungan domestik
Kebijakan Erdogan menyebabkan krisis ekonomi terburuk dalam sejarah Turki, menurut mantan anggota parlemen Turki Aykan Erdemir, yang mengatakan situasi keuangan telah menyebabkan bahkan pendukung yang keras untuk mempertanyakan loyalitas mereka kepada presiden.
“Presiden Turki berharap, konversi Hagia Sophia akan menciptakan ronde putaran efek bendera dan memberinya beberapa legitimasi,” kata Erdemir, yang merupakan direktur senior Program Turki di Yayasan thinktank AS untuk Pertahanan Demokrasi kepada Al Arabiya English
Meskipun Erdogan tidak akan terpilih kembali sampai 2023, lawan politiknya baru-baru ini mengancam cengkeramannya pada kekuasaan. Bulan lalu, mantan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mengatakan siap bekerja sama dengan partai-partai oposisi untuk menentang Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Erdogan yang berkuasa.
Sejak itu, Erdogan memerintahkan penutupan Universitas Sehir di Istanbul, yang pendirinya termasuk Davutoglu.
Erdogan sekarang merasa terancam oleh meningkatnya oposisi terhadapnya, menurut Henri Barkey, seorang rekan untuk studi Timur Tengah di Council on Foreign Relations.
Naiknya Erdogan ke kekuasaan di Turki telah menekankan Islam politik, menurut Nelson, yang mengatakan konversi Hagia Sophia dan gereja-gereja bersejarah lainnya di negara itu menjadi masjid adalah bagian dari buku pedoman presiden Turki untuk mendapatkan dukungan publik.
Sejarah Kristen di Turki
Para ahli telah memperingatkan bahwa Hagia Sophia adalah bagian dari tren yang lebih luas di mana minoritas Kristen Turki menghadapi peningkatan penindasan.
Menurut Nelson, peninggalan Bizantium Kristen secara sistematis ditekan. Tiga gereja Kristen terkenal lainnya di Turki telah dikonversi menjadi masjid dalam beberapa tahun terakhir: katedral Hagia Sophia di Iznik, Gereja Hagia Sophia di Trabzon, dan Gereja Chora di Istanbul. (Alrabiya)
TAGS : Hagia Sophia Amerika Serikat Recep Tayyip Erdogan
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/75676/Ubah-Hagia-Sophia-Jadi-Masjid-Erdogan-Disebut-Intoleransi/