Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2018 sebesar 45,19 persen anak di desa dan 20,08 persen anak di kota tinggal di rumah dengan fasilitas sanitasi yang tidak layak.
Jakarta, Jurnas.com – Air minum dan sanitasi yang layak merupakan hak asasi manusia, termasuk anak-anak. Namun faktanya, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2018 sebesar 45,19 persen anak di desa dan 20,08 persen anak di kota tinggal di rumah dengan fasilitas sanitasi yang tidak layak.
Oleh karenanya, diperlukan peran sinergi para pihak, untuk meningkatkan akses rumah tangga terhadap air minum dan sanitasi yang layak demi pemenuhan hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal di lingkungannya.
“Akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak merupakan salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah melakukan upaya dengan menggandeng seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan akses rumah tangga terhadap air minum dan sanitasi yang layak, salah satunya melalui Forum Anak, dengan diberi peran sebagai Pelopor dan Pelapor (2P),” ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin pada Focus Group Discussion (FGD) Sanitasi untuk Kesehatan dan Kesejahteraan Anak dan Keluarga, yang diselenggarakan secara virtual (27/7).
“Kami berharap anak-anak dapat diberikan pemahaman terkait pentingnya air minum dan sanitasi yang layak, sehingga bisa memengaruhi keluarganya dan lingkungan sekitarnya untuk mewujudkan lingkungan yang sehat. Hal ini juga perlu didukung oleh institusi lainnya agar menginisiasi hal ini, karena anak merupakan ujung tombak terkait program-program yang menjamin pemenuhan haknya,” ujar Lenny.
Melalui kebijakan KLA, Kemen PPPA mendorong daerah untuk meningkatkan akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak di wilayahnya. Selain itu, upaya lainnya pertama, melalui Forum Anak.
Sebagai Pelopor dan Pelapor (2P), Forum Anak mendorong agar anak berperan memelopori, misalnya pengelolaan sanitasi di lingkungannya. Kedua, melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) mengedukasi para keluarga tentang pentingnya pemenuhan sanitasi layak anak dalam pengasuhan.
Ketiga, melalui Sekolah Ramah Anak (SRA) untuk memberikan pemahaman terkait pengelolaan sanitasi layak anak di satuan pendidikan. Keempat, melalui lingkungan dengan menyebarluaskan materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) terkait sanitasi yang layak yang diintegrasikan dengan misalnya Puskesmas Ramah Anak, Ruang Bermain Ramah Anak, Pusat Kreativitas Anak, dan Pusat Informasi Sahabat Anak.
Kelima, melalui wilayah/region, yakni membangun kesadaran dan menggerakkan para pimpinan daerah, dari tingkat provinsi hingga desa/kelurahan terkait pentingnya air minum dan sanitasi yang layak.
Tidak hanya sebagai salah satu indikator KLA, air minum dan sanitasi yang layak juga merupakan salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, yakni poin ke-6 (enam).
Pada umumnya, masyarakat Indonesia lebih banyak memanfaatkan air sungai. Namun, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2016 sebesar 56 persen sungai sudah tercemar, sehingga banyak wilayah akan mengalami krisis air bersih.
Oleh karenanya, Dekan Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, Melati Ferianita mendorong masyarakat agar melakukan tindakan sanitasi lingkungan yang baik.
“Tindakan sanitasi lingkungan dapat dilakukan dengan cara penyediaan air bersih yang difasilitasi toilet yang bersih dan terawat, membuat dan mengatur pembuangan limbah rumah tangga, membuang sampah pada tempatnya, mengatur saluran drainase (pembuangan air hujan), serta pengelolaan limbah atau sampah dengan baik, teratur, dan berkesinambungan,” terang Melati.
Koordinator Kelompok Bidang Keahlian Perkotaan dan Permukiman Institut Teknologi Indonesia, Rino Wicaksono menambahkan sanitasi yang layak dapat dipengaruhi oleh penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah.
“Sebaiknya sumber sampah rumah tangga sudah dibagi ke dalam 2-5 tong sampah, yakni untuk sampah busuk dan sampah yang tidak bisa busuk. Sampah busuk bisa dijadikan makanan binatang atau dimasukkan ke dalam sumur biopori, sedangkan yang tidak busuk bisa dijadikan komoditas industri. Komunitas atau masyarakat di suatu hunian juga dapat membentuk Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Reuse, Recycle, Reduce (TPST 3R). Jadi, usahakan sampah akan lenyap di tempat kita membuang sampah tersebut,” tutur Rino.
Tenaga Ahli Teknik Lingkungan, Danang Hadisuryo juga mengingatkan akan pentingnya bagi masyarakat untuk mengetahui jenis akses air minum dan sanitasi di rumahnya masing-masing.
Hal ini dapat membantu pemerintah terhadap kualitas pendataan yang berimplikasi pada perencanaan makro yang tepat sasaran, yakni untuk meningkatkan pelayanan air minum dan penyediaan sanitasi air limbah yang aman dan dikembangkan untuk menjangkau semua lapisan masyarakat.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin