“Kita masih bertarung dengan pandemi, dan belum ada di garis finish. Setelah selesai, kita perlu kembalikan image transportasi publik sebagai moda yang aman, jangan sampai ada stigma jelek bahwa transportasi umum menjadi (tempat) penularan penyakit,” kata Harya dalam jumpa pers virtual, Kamis.
Lebih lanjut, Harya memaparkan hasil penelitian yang menyebut, bahwa masyarakat, terutama di Jabodetabek, masih menjadi favorit untuk mobilitas sehari-hari, baik sebelum, ketika, dan setelah pandemi bisa dikendalikan, atau bahkan berakhir.
Baca juga: Jenis teknologi dan fitur yang diminati “savvy commuters” Jakarta
Baca juga: Riset: Teknologi digital tingkatkan infrastruktur transportasi Jakarta
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, antara lain waktu tempuh yang lama jika menggunakan kendaraan pribadi, tidak praktis, dan jauhnya akses ke kendaraan umum.
Sehingga, menurut Harya, penting bagi pelaku pelayanan transportasi umum untuk terus memperhatikan protokol kesehatan demi memberikan rasa aman dan menunjang kenyamanan penggunanya.
“Perhatian untuk keamanan dan kesehatan adalah langkah yang baik dan perlu terus dikomunikasikan (pelaku) transportasi massal, terutama setelah vaksin,” kata Harya.
“Karena mau tidak mau, kita perlu mengembalikan kapasitas (jumlah penumpang transportasi umum) ke 100 persen lagi seperti sebelum pandemi. Sehingga, rasa aman itu harus kita pulihkan,” ujarnya melanjutkan.
Selain faktor keamanan dan kesehatan, hal selanjutnya adalah integrasi antarmoda di fasilitas transportasi publik.
Harya memaparkan, di Jabodetabek, sebanyak 45 persen pengguna transportasi publik telah memfungsikan ojek online sebagai solusi first mile-last mile, atau untuk menyambung perjalanan dari tempat asal menuju tempat transit transportasi massal.
“Kunci keberhasilan integrasi antarmoda transportasi ada tiga, yaitu responsif, terencana dan terlembagakan, serta tidak ada hambatan regulasi dan birokrasi,” kata Harya.
Baca juga: Mobil listrik Volkswagen jadi transportasi umum di Pulau Astypalea
Baca juga: DAMRI gelar program retrofit bus listrik untuk transportasi umum
Responsif, adalah ketika layanannya berorientasi konsumen, sehingga diharapkan bisa meminimalisir waktu tunggu, seamless dan memiliki sistem pembayaran tunggal (single payment tool).
Terencana dan terlembagakan, adalah dimana aplikasi bisa berperan sebagai integrator dan sebaliknya. Hal ini, menurut Harya, bisa berdampak baik bagi pengguna karena praktis dan nyaman.
Kunci ketiga, yaitu tidak adanya hambatan regulasi dan birokrasi, lebih ke efisiensi yang akan lebih mudah terwujud.
“Pandemi usai pun masyarakat berharap bisa menggunakan transportasi publik lagi. Bukan hanya cepat dan nyaman, tapi juga aman dalam sisi kesehatan. Ini adalah tantangan kita setelah pandemi usai,” kata Harya.
“Kita akan kembali beraktivitas dengan normal baru yang lebih waspada. Kita harus terapkan prokes, terutama di fasilitas transportasi publik, dan optimalisasi transportasi publik karena pola masyarakat akan terjadi perubahan ke depannya,” pungkasnya.
Baca juga: Dilema transportasi umum di era COVID-19
Baca juga: dr Reisa: Perhatikan tujuh protokol kesehatan di angkutan umum
Baca juga: Daya tahan angkutan umum tinggal sebulan
Pewarta: A087
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021
Credit: Source link