JawaPos.com – Konsep heuristika hukum merupakan suatu lompatan berpikir yang futuristik. Bahkan bisa memecahkan kekakuan hukum normatif yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman.
Penilaian itu diungkapkan oleh Pakar hukum Margarito Kamis saat merespons ide dan gagasan heuristika hukum sebagai buah dari pemikiran Ketua Mahkaham Agung (MA) H.M Syarifuddin.
Menurutnya, Syarifuddin yang selama kurang lebih 35 tahun menjalankan tugas sebagai Hakim, dan menjadi ketua MA menyadari ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas, tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik.
“Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ruang yang sangat leber bagi penegak hukum, termasuk para hakim, untuk menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi,” ujar Margarito dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com.
Sehingga, lanjut Margarito, penegakan hukum korupsi di Indonesia terkadang sangat kaku dan kurang memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak akibat penjatuhan sanksi pidana oleh hakim di pengadilan.
Diketahui, Ketua MA menuangkan konsep heuristika hukum dalam pidatonya saat pengkuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Margarito menjadi salah satu pakar yang sudah membaca isi pidato tersebut.
Baca Juga: Menag Beri Tanggapan Soal Pelaporan Terhadap Din Syamsuddin
Baca Juga: Kemenhan Mau Beli 48 Jet Tempur Rafale, Ini Respons TNI AU
“Konsep heuristika hukum sebagai sebuah motode yang baru terdengar dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ini merupakan suatu lompatan berfikir yang futuristik untuk memecahkan kekakuan hukum normatif yang terkesan lamban dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman,” kata Margarito.
Menurutnya, Syarifuddin sudah sangat tepat dan sangat layak sebagai seorang yang menduduki puncak pimpinan tertinggi di MA mengeluarkan konsep dan teori dari pengalaman selama menjadi hakim dan juga lahir dari pergolakan pemikiran secara teoritis.
Tujuannya, lanjut Margarito, yakni memberikan solusi bagi kebuntuan hukum normatif yang saat ini terkadang tidak mampu menyelesaikan masalah hukum di tengah masyarakat, terutama dalam rangka memberikan layanan keadilan bagi para pencari keadilan di pengadilan.
“Saya menyakini bahwa konsep ini lahir dari pergolakan batin sebagai seorang hakim yang mengedepankan hati nuraninya dalam menjatuhkan putusan untuk menegakan hukum dan keadilan secara substantif, tanpa mengenyampingkan aspek kepastian dan kemanfaatan hukum,” ujar Margarito.
Karena, sebagai sesuatu yang baru di Indonesia, menurut Margarito, konsep heuristika hukum perlu disosialisasikan dan dibedah melalui forum-forum diskusi ilmiah di kalangan akademisi agar konsep ini bisa diuji eksistensinya. Terutama dalam rangka menjawab problem-problem penegakan hukum, khususnya di lembaga peradilan.
“Sebagai sebuah gagasan sudah tentu pasti terjadi pro-kontra, namun pro-kontra hal wajar di kalangan akademisi. Pro-kontra tentu dapat menambah dinamika dan dialektika untuk memperkaya intelektual seiring lahirnya konsep heuristika hukum,” kata Margarito.
Dalam pidatonya, Ketua MA mengatakan, tantangan penegakan hukum adalah dalam hal disparitas pemidanaan. Lebih spesifik lagi dalam contoh kasus putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum yang sama maupun adanya kesamaan pada unsur-unsur tindak pidana korupsi. Namun, tetap saja terdapat kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas terkait adanya disparitas pemidanaan tersebut dalam putusan hakim.
Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini semakin melebarkan jarak antara ekspektasi masyarakat terhadap putusan hakim dan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.
Credit: Source link