JawaPos.com – Rencana pemerintah mengerek cukai tembakau dan produk turunannya terus jadi sorotan. Sebab, kontribusi cukai yang terus tumbuh signifikan ternyata tak sebanding dengan insentif terhadap inovasi produk turunan tembakau.
Berlaku efektif pada 2019, industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) telah berhasil menyumbang penerimaan cukai senilai Rp 426,6 miliar. Sementara tahun lalu, dalam kondisi pandemi, kontribusinya tumbuh sampai 60 persen menjadi Rp 680,3 miliar.
Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya merespons pentingnya solusi alternatif terhadap produk-produk tembakau yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. Apalagi dalam situasi pandemi kini, industri HPTL juga masih tumbuh signifikan.
“Harus fair menilai rata-rata pemasukan negara dari cukai tembakau juga besar, meskipun ada kritik terhadapnya. Makanya perlu ada insentif inovasi bagi industri olahan tembakau untuk pengembangan produk agar dapat diterima publik,” ujarnya dalam keterangannya, Selasa (2/3).
Rantai pasok industri HPTL yang cukup kompleks, kata Willy, juga bisa jadi peluang buat masuknya investasi lebih banyak. Dengan kompleksitasnya, insentif ke industri HPTL juga secara simultan bakal mendorong industri lain. Misalnya, industri kimia, industri alat-alat kimia, sampai industri pengemasan.
Ia menambahkan, Undang-undang Cipta Kerja yang dihasilkan DPR bersama pemerintah bisa jadi sarana mendorong investasi di sektor industri ini. Sekarang giliran pemerintah untuk memanfaatkan beleid tersebut sekaligus regulasi turunannya.
Sehingga tercipta iklim investasi yang sederhana, mudah dan cepat, dan berperan aktif dalam menarik investor masuk ke tanah air. “Industri tembakau harus dilihat dengan lebih terbuka, kita harus jujur dan adil menilai realitas, termasuk dalam hal produk hasil tembakau ini. Karena tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.
Sementara, peneliti Indef Bhima Yudhistira pun sepakat, industri HPTL memang bisa jadi solusi alternatif mendorong investasi, apalagi tahun ini pemerintah punya target yang cukup ambisius untuk merealisasikan investasi Rp 900 triliun. “HPTL ini merupakan produk inovasi dengan risiko kesehatan yang lebih rendah, tidak heran jika pelaku usaha mau berinvestasi dan menyerap tenaga kerja karena peluangnya besar,” kata Bhima.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk lebih mendorong perkembangan industri ini dan banyak yang melakukan investasi, pemerintah dapat memberikan insentif fiskal. Misalnya melalui kebijakan tarif cukai yang lebih rendah yang sesuai dengan risiko produknya.
“Penyesuaian tarif cukai untuk HPTL saja akan sangat signifikan meningkatkan investasi di produk inovatif. Pemerintah sebaiknya memang membuka ruang diskusi lebih lanjut dengan pelaku usaha atau investor untuk merumuskan insentif apa yang cocok diberikan,” sambungnya.
Saat ini produk-produk HPTL dikenakan sistem tarif cukai persentase (ad valorem) sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE). Sistem ini berbeda dengan yang diberlakukan atas produk rokok konvensional yang menggunakan sistem tarif cukai spesifik yang lebih sederhana.
Skema ad valorem sejatinya dirasa memberatkan para pelaku industri HPTL. Terlebih, besaran tarif 57 persen itu merupakan yang tertinggi dalam Undang-undang Cukai dan lebih tinggi dari rerata persentase tarif cukai untuk rokok konvensional.
Padahal, produk-produk HPTL dan rokok elektrik memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Ini sudah dibuktikan oleh penelitian Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2015 dan 2018, serta diperbaharui pada tahun 2020 yang menyatakan bahwa rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link