JawaPos.com – Pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat tujuan atau dari bandara Jawa-Bali menunjukkan surat keterangan hasil negatif RT-PCR yang sampelnya diambil 2×24 jam sebelum keberangkatan. Banyak pihak yang mengkritisi kebijakan tersebut.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus pun menyampaikan, kebijakan tersebut kontraproduktif dengan keinginan pemerintah membangkitkan pariwisata. Tentunya juga memberatkan masyarakat yang hendak bepergian.
“Iya menurut saya kebijakan itu memberatkan masyarakat karena kan kontraproduktif, memang PCR itu tes yang paling tepat atau akurat lah, tapi persoalan kan harga mahal,” terang dia ketika dihubungi JawaPos.com, Minggu (24/10).
Dia menilai, jika pemerintah mau memakai skema PCR, harganya terlebih dahulu harus diturunkan. Pasalnya, harga PCR saat ini terbilang mahal, yakni sekitar Rp 400 ribuan.
“Harusnya itu paling maksimal Rp 200 ribu aja, itu udah tinggi, tapi pemerintah menetapkannya Rp 450 ribu itu tinggi. Akibatnya banyak yang mau melakukan perjalanan atau wisata tidak jadi, kebijakan ini kontraproduktif,” tutur dia.
Jika tidak bisa diturunkan, lebih baik memakai skema yang sudah disepakati sebelumnya, yakni hanya bukti vaksi dan tes antigen. Menurutnya, PCR juga tidak bisa memastikan 100 persen orang tersebut terjangkit atau tidak Covid-19.
“Evaluasi ulang aja, karena kan bukan jaminan Covid nggak menular, Covid juga mutasi kan yang menurut saya tidak akan terdeteksi dengan PCR itu, jadi tidak jamin 100 persen, cuma lebih akurat dibanding antigen gitu aja, tapi bukan berarti itu yamg mutlak, virus covid ya bakal tetap ada dan menular. Jadi harus dievaluasi menyesuaikan keadaan yang ada,” pungkas dia.
Credit: Source link