JawaPos.com – Kebijakan pemerintah yang mewajibkan calon penumpang pesawat melakukan tes RT-PCR masih memicu pro-kontra. Kendati harga tes diturunkan menjadi Rp 300 ribu dan masa berlaku diperpanjang menjadi 3 hari, aksi penolakan masih saja muncul.
Bahkan, ada juga yang menggalang petisi untuk menolak aturan tersebut.
Sebuah petisi di halaman change.org berjudul Hapuskan Aturan PCR untuk Penerbangan pun semakin ramai. Pantauan Jawa Pos hingga pukul 20.22 WIB tadi malam, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 43 ribu orang dan masih bergerak naik menuju 50 ribu tanda tangan.
Suara keberatan juga disampaikan oleh Ikatan Pilot Indonesia (IPI). Mereka merilis pernyataan resmi yang meminta pemerintah meninjau kembali SE Satgas Covid-19 Nomor 21 Tahun 2021. SE itulah yang memuat kewajiban tes RT-PCR untuk transportasi udara.
Ketua IPI Capt Iwan Setyawan mengungkapkan, industri penerbangan mengalami banyak tekanan selama pandemi Covid-19. Bahkan, tidak sedikit pekerja penerbangan yang dirumahkan. Mulai pilot, awak kabin, teknisi, petugas pengatur lalu lintas penerbangan, hingga petugas bandara. ’’Karena itu, mengenai syarat tes PCR bagi para penumpang udara, kami mohon ditinjau kembali,” kata Iwan kemarin.
Dia mengungkapkan, pesawat udara telah dilengkapi dengan sebuah alat bernama HEPA yang berfungsi sebagai filter virus. Selain itu, dia menyebut WHO, IATA, dan ICAO telah menyatakan bahwa tes antigen memiliki akurasi yang baik, lebih murah, dan cepat memberikan hasil. Banyak juga penelitian yang menyebutkan bahwa penularan virus di pesawat udara lebih rendah daripada moda transportasi lain. Belum lagi ditambah dengan faktor lain seperti penumpang yang sudah divaksin hingga protokol kesehatan di bandara yang ketat. ’’Transportasi udara sangat aman dari penularan Covid-19 dan seharusnya mendapat prioritas,” ucap Iwan.
Komite Legal IPI Capt Muammar Reza Nugraha menambahkan, catatan PT Angkasa Pura menyebutkan, pergerakan penumpang pada kuartal I 2021 drop ke angka 65,5 persen di 15 bandara. Penurunan penumpang tersebut berimbas pada menurunnya jumlah penerbangan.
Pada 2019 sampai 2020, penerbangan turun hingga tersisa 48,2 persen. Kemudian, pada periode 2020–2021, turun lagi menjadi 29,8 persen. ’’Ini berdampak pada memburuknya kondisi fisik dan emosional para pekerja transportasi udara. Ini juga berpengaruh pada faktor keselamatan,” katanya. Reza juga menyebut beberapa penelitian menyatakan bahwa peluang penularan Covid-19 di pesawat hanya 0,00014 persen atau sama dengan risiko yang bisa diabaikan.
Di sisi lain, ada juga yang mendukung tes PCR diperluas hingga ke moda transportasi lain. Epidemiolog Kamaluddin Latief menilai, kebijakan pemerintah yang mewajibkan tes PCR dalam penerbangan domestik adalah langkah tepat. ’’Kebijakan itu adalah keharusan dan dibutuhkan. Jika mengacu pada tes Covid-19, maka gold standard-nya adalah PCR. Hal ini yang harus dipahami oleh semua pihak,’’ jelasnya.
Kamal mendasarkan pendapatnya pada ancaman lonjakan kasus gelombang ketiga dan munculnya beberapa varian baru di luar negeri. Selain itu, mobilitas masyarakat terus meningkat. Menurut dia, pelonggaran mobilitas harus diiringi dengan penguatan upaya skrining. ”Kebutuhan peningkatan skrining ini juga semakin penting karena Indonesia adalah negara kepulauan,” ujarnya.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, pemberlakuan skrining ketat dengan tes PCR dan karantina harus terus ditingkatkan. ’’Jika kita memilih melakukan pelonggaran mobilitas, maka mau tidak mau skrining ketat, dengan memilih jenis tes yang lebih sensitif, yakni PCR,’’ ujarnya.
Bahkan, menurut Kamal, tes PCR semestinya diterapkan pada semua jenis moda transportasi. Baik udara, laut, maupun darat. Meski demikian, dia mengakui pemerintah harus bisa menekan harga PCR serendah mungkin. Bahkan, jika memungkinkan, hingga mendekati batas atas harga tes antigen. ’’Subsidi bisa jadi opsi lain yang ditawarkan pemerintah. Selain itu, mekanisme di wilayah yang sulit melakukan PCR harus diatur lebih lanjut dengan membuat beberapa perkecualian atau prasyarat lain. Ini harus dipikirkan caranya,’’ katanya.
Pada bagian lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa harga PCR di Indonesia kini termasuk murah. Karena itu, Budi menegaskan bahwa pemerintah tak akan memberikan subsidi. Pada data Skytrax Ratings yang digunakan Budi, untuk harga PCR di 70 bandara ibu kota negara dunia, Indonesia berada di posisi ke-49.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar harga PCR diturunkan menjadi Rp 300 ribu. Perintah Jokowi itu muncul setelah Kementerian Kesehatan menurunkan harga PCR menjadi Rp 495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk non-Jawa-Bali.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, meski harga diturunkan, pemerintah belum transparan terkait harga tes PCR tersebut. Mulai dari struktur biaya PCR hingga berapa persen margin profit yang diperoleh provider. ”Ini masih tanda tanya besar,” ujarnya.
Tulus juga menyinggung wacana penggunaan PCR untuk semua moda transportasi. Dia menilai, hal itu akan memberatkan konsumen. Sebab, tarif saat ini masih terbilang mahal untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah. ”Mana mungkin penumpang bus disuruh membayar PCR yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif bus itu sendiri,” ucapnya. Kecuali jika tarif PCR bisa ditekan hingga Rp 100 ribu.
Dia juga menilai kebijakan tersebut diskriminatif. Pasalnya, perjalanan orang dengan kendaraan pribadi bisa begitu bebas. Di lapangan selama ini tak ada pengendalian kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Padahal, perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi jauh lebih banyak terjadi. Alhasil, alasan pencegahan penularan Covid-19 pun jadi tak konsisten dan tak setara.
Karena itu, pihaknya menyarankan agar tidak semua moda transportasi wajib dikenakan PCR. Harusnya, PCR dikembalikan ke ranah medis. Terlebih, sudah banyak masyarakat yang sudah divaksin Covid-19.
Credit: Source link