JawaPos.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengadakan rapat membahas penertiban pengelolaan aset tanah peninggalan Belanda/objek Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Belanda (P3MB)/Presidium Kabinet Dwikora 1955 (PRK.5).
“Kita pahami bersama permasalahan dalam pengelolaan aset eks Belanda yang bernilai strategis ini berpotensi hilangnya aset baik berupa tanah ataupun bangunan. Untuk itu KPK hadir guna menutup celah terjadinya potensi korupsi ataupun kerugian negara,” kata narahubung KPK untuk wilayah DKI Jakarta, Hendra Teja dalam keterangannya, Jumat (29/10).
Hendra menjelaskan bahwa selain pengamanan, penertiban, dan penyelamatan aset, lebih jauh KPK mendorong dilakukannya upaya optimalisasi pemanfaatan aset-aset tersebut untuk meningkatkan pendapatan asli daerah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dengan mempertimbangkan berbagai masukan KPK memberikan empat rekomendasi.
Pertama, KPK menyepakati perpanjangan SIP untuk nama yang sama, namun masih mendorong moratorium pemberian SIP kepada ahli waris penghuni rumah eks Belanda. Kedua, KPK mendorong Kementerian ATR/BPN dan Pemprov DKI untuk membentuk tim gabungan dan melakukan rekonsiliasi data, serta melakukan koordinasi dalam hal pelayanan pertanahan atas tanah eks Belanda tersebut.
Ketiga, perlu dipikirkan mekanisme evaluasi terkait pemanfaatan aset bagi penerimaan daerah dan regulasi yang perlu disusun sebagai dasar hukum. “Terakhir, perlu identifikasi terhadap tanah eks Belanda yang berdasarkan ketentuan adalah milik atau dapat dimiliki oleh Pemprov DKI atau negara, agar dapat segera dilakukan pengamanan fisik dan proses pensertifikatan,” ucap Hendra.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Provinsi DKI Jakarta, jumlah Surat Izin Perumahan (SIP) yang terbit berjumlah 1.281 bidang. Selain penerbitan 62 SIP untuk kepemilikan P3MB dan 3 SIP untuk kepemilikan PRK5, juga termasuk di dalamnya 564 unit rumah ber-SIP yang belum diketahui kepemilikannya. SIP adalah izin yang diberikan sebagai hak untuk menghuni yang berlaku selama 3 tahun dan bukan hak untuk memiliki.
“Kalau saat ini kita minta mereka meninggalkan hunian tersebut, akan timbul masalah baru, yaitu akan tinggal di mana mereka? Padahal saat ini saja kita sudah sangat kewalahan menangani problematika hunian layak misalnya akibat penggusuran,” ujar Kepala Bidang Regulasi dan Peran Serta Masyarakat DPRKP Pemprov DKI Jakarta Ledy Natalia.
Di sisi lain, Ledy menjelaskan bahwa biaya sewa akibat penerbitan SIP sangat murah. Dia memberi contoh, untuk aset rumah di kawasan Menteng misalnya sebesar Rp100 ribu per tahun.
Sementara itu, mewakili Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi DKI Jakarta M. Unu Ibnudin menyampaikan bahwa berdasarkan Peraturan Gubernur, tanah eks Belanda adalah tanah negara yang dikuasai Pemprov khususnya DKI Jakarta dan disewakan kepada masyarakat. Selanjutnya, katanya, apabila dimohonkan haknya maka ada pemasukan ke negara sebesar 25 persen.
Unu juga menilai yang lebih memiliki unsur keperdataan adalah Pemprov DKI yang selama ini memberikan izin kepada penghuni untuk menyewa dan menempati sementara tanah/bangunan eks Belanda tersebut. Unu juga mengusulkan adanya sampling eksekusi penghentian SIP di wilayah Jakarta Pusat. Setelah SIP dihentikan, Pemprov DKI Jakarta kemudian dapat memulai proses pemenuhan syarat pendaftaran sertifikasi aset.
“Hal ini perlu dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap aset-aset tersebut dan pemberian pelayanan optimal kepada masyarakat DKI Jakarta. Saran saya kita mulai dengan rumah-rumah di atas tanah dengan status kepemilikan Kota Praja yang belum dicatat sebagai aset milik Pemprov DKI Jakarta,” ujar Unu.
Pendapat senada disampaikan oleh Perwakilan Bidang Hukum TGUPP Provinsi DKI Jakarta Rahma yang menyampaikan bahwa terkait SIP ini. Ada dasar hukum lainnya yaitu UU Nasionalisasi yang telah digunakan terhadap aset lain.
“Contohnya Bank Indonesia yang sudah dikuasai legal formal oleh pemerintah Indonesia,” pungkas Rahma.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Muhammad Ridwan
Credit: Source link