Ilustrasi demokrasi (foto: Google)
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Muhammad Zaadit Taqwa mendadak jadi terkenal. Atraksinya “meniup peluit” dan memberi “kartu kuning” kepada Presiden Jokowi memaksa publik mengangkat empat jempol. Tidak sedikit orang kagum, lalu memberi apresiasi. Karena atraksinya, Zaadit dihadiahi beasiswa. Ada juga yang nawarin umroh. Ia menolak. Tegas lagi. Kenapa? Karena bangsa ini sedang membutuhkannya. Beasiswa, umroh dan hadiah apapun, bukan tujuan dan targetnya. Zaadit pegang prinsip dan idealisme itu.
Aksi Zaadit tergolong nekat. Sebab, pertama, “tiupan peluit” dan “kartu kuning” ditunjukkan langsung di depan presiden Jokowi. Kedua, aksi itu terjadi di acara resmi, bahkan acara penting kampus, dies natalis. Disaksikan para petinggi UI. Sangat berisiko. Kampus bisa balik melayangkan “kartu kuning” ke Zaadit. Bisa juga “kartu merah”, alias dikeluarkan. Bahasa kerennya “drop out”. Ketiga, dilakukan pada saat orang-orang gila sedang menjalankan aksi kegilaannya di Jawa Barat. Depok, tempat dimana UI berdiri, adalah wilayah Jawa Barat. Ini gila beneran, bukan gila-gilaan. Gila ori, bukan kw. Gila yang punya sasaran.
Aksi Zaadit sebenarnya tergolong biasa jika dilakukan di era Orde Lama, Orde Baru atau awal Orde Reformasi. Tapi menjadi luar biasa ketika dilakukan di era sekarang.
Di saat para mahasiswa Indonesia tiarap, Zaadit muncul. Peluit yang ia tiup seperti sangkakala yang membangunkan para mahasiswa dari alam kuburnya. Mahasiswa akhir-akhir ini terasa sudah mati. Zaadit membongkar kubur mereka. Seperti Israfil membangkitkan mayat-mayat yang lama menanti kiamat.
Jika di era SBY mahasiswa mati setelah diajak plesiran. Di era ini “kematian” mahasiswa menyisakan banyak pertanyaan. Ada apa?
Berbagai problem yang dihadapi bangsa seperti ekonomi yang semakin terasa sulit, harga listrik terus naik, pengangguran bertambah, serbuan pekerja Cina, puluhan bayi Asmat mati kurang gizi, dan wacana impor beras menjelang panen raya tak membuat mahasiswa bersuara. Ada apa dengan civitas akademika kita?
Mahasiswa adalah generasi yang dikenal paling kritis, polos dan pemberani. Bahkan paling berisik di seantero negeri. Di tangan mereka lokomotif perubahan bergerak. Tapi, suara mereka tak bunyi. Samar pun tidak. Di saat mahasiswa terasa “tak bernyawa”, peluit dan kartu kuning Zaadit menjadi terasa luar biasa.
Ketika para mahasiswa seperti kerumunan mayat, atraksi “peluit” Zaadit terasa menggelegar. Dia tampil dan menunjukkan diri berbeda dari mahasiswa umumnya. Zaadit masih hidup. Bahkan berupaya menghidupkan mahasiswa lainnya. Peluit yang dibunyikan seolah ingin membangunkan para mahasiswa yang sedang tertidur lelap dalam kuburnya.
Sayangnya, atraksi Zaadit tak ramai di televisi. Publik juga bertanya, ada apa dengan televisi kita? Masuk angin juga?
Dalam dunia olahraga, terutama sepakbola, bunyi peluit yang diikuti “kartu kuning” hanya dilakukan wasit jika terjadi pelanggaran berat. Satu peringatan sebelum “kartu merah”. Zaadit mewakili rakyat menjadi wasit. Tidakkah ada DPR? Banyak yang apatis dan telah kehilangan kepercayaan.
Apa pelanggaran Jokowi versi Zaadit Taqwa, sehingga ia harus membunyikan peluit dan mengeluarkan “kartu kuning”? Menurut ketua BEM ini, ada tiga kegagalan Jokowi. Pertama, gizi buruk warga Asmat. Kematian 67 anak-anak Asmat karena gizi buruk membuktikan anomali proyek infrastruktur yang selama ini menjadi kebanggaan. Kedua, rencana plt gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara dari perwira tinggi polisi. Wacana ini dianggap oleh sejumlah pihak menghawatirkan nasib demokrasi kedepan. Pro-kontra terus berlanjut hingga hari ini. Ketiga, terbitnya permenristekdikti dianggap telah membatasi kebebasan mahasiswa.
Atraksi Zaadit ini terus banjir dukungan publik. Terutama para alumni UI. Mereka yang semula diam pun ikut bicara. Sejumlah mahasiswa dan aktivis juga tertarik untuk mengangkat “kartu kuning.” Tanda setuju. Malah ada yang angkat “kartu merah”. Namanya Fahri Hamzah.
Fahri Hamzah, sosok unik dan senang tampil beda ini mesti memberi jawaban dua pertanyaan, pertama, apakah “kartu merah” Fahri itu artinya Sang Presiden harus keluar dari lapangan permainan? Kedua, apa kesalahan Pak Presiden sehingga harus menerima “kartu merah”?
Jika Zaadit berani mengklarifikasi bunyi peluit dan “kartu kuning”-nya, maka Fahri Hamzah mesti juga berani menjelaskan alasan mengapa ia memberi “kartu merah”. Jangan sampai publik punya kesan “nyali” Fahri Hamzah kalah kelas dengan Zaadit, mahasiswa yuniornya di UI.
Lepas apakah itu “kartu kuning” atau “kartu merah”, peluit Zaadit, kendati telah memekakan telinga, menunjukkan rasa cinta yang tinggi kepada bangsa ini. Ia ingatkan Pak Presiden agar bangsa ini selamat.
Berbagai survey menunjukkan elektabilitas Pak Presiden tidak aman. Di bawah 50%. Salah satunya karena faktor sulitnya ekonomi (survey LSI). Termasuk yang dirasakan anak-anak Asmat. Zaadit meniup peluit karena ingin memberi peringatan kepada Pak Presiden. Jika ingin aman di 2019, selamatkan bangsa ini. Perbaiki ekonomi, selamatkan demokrasi dan amankan negeri ini dari intervensi asing. Itulah kira-kira pesan Zaadit.
Zaadit ambil risiko. Termasuk risiko disalahpahami, bahkan diusir dari kampusnya. Ia pun dituduh dapat pesanan. Sing pesen loh yo sopo? Semoga “tuduhan-tuduhan” itu bukan pesanan. Jangan sampai “maling teriak maling”. Atau sengaja sebagai “strategi pengalihan”. Bahayanya lagi kalau ada upaya “adu domba” mahasiswa. Gawat! Tapi, Zaadit tabah menghadapi, demi menyelamatkan kapal bangsa yang besar ini.
Pengkritik dikritik. Pendemo didemo. Penuntut dituntut. Pemberi peringatan diperingatkan. Ini tradisi yang tidak kondusif bagi kesehatan demokrasi. Tidakkah demokrasi itu indah jika saling mendengarkan dan menghargai perbedaan?
Zaadit berharap, Pak Presiden mengapresiasi dan menyambut kepolosannya dengan sebuah ucapan “terima kasih”. Tapi, tidak. Zaadit kecewa? Tanyakan saja padanya.
Sebaliknya, Pak Presiden malah menawarkan Zaadit ke Asmat. Bukan untuk plesiran seperti era presiden sebelumnya. Tapi, untuk menunjukkan bahwa medan Asmat itu tidak mudah. Tak seperti yang ada di kepala Zaadit.
Zaadit, jangan asal omong loh. Itulah kira-kira pesannya. Sekali lagi, ini “kira-kira”. Bisa benar, bisa salah. Namaya aja “kira-kira”. Tafsir kata-kata. Biarlah juru bicara istana nanti yang menjelaskan. Lebih akurat.
Tak mudah memang menjadi pemimpin negara. Selalu diawasi, dkritik, dibully, dan disalahkan. Itu risiko. Kalau gak mau risiko, jangan jadi presiden. Yang jelas, apapun jawaban dan respon Pak Jokowi, ada konsekuensi politiknya. Terutama untuk 2019.
Zaadit sudah melakukan tugasnya. Sangkakala sudah ditiup. Ia sudah berupaya membangunkan teman-temannya dari kampus yang selama ini terasa senyap dan lengang seperti layaknya suasana di alam kematian. Selanjutnya, terserah para mahasiswa. Mendukung Zaadit, lalu bersama-sama membangun bangsa besar ini dengan cara memberi masukan, mengingatkan dan mengkritik pemerintahan. Bahkan mendemonya. Atau sebaliknya, menentang Zaadit, menyalahkan dan menuduhnya macam-macam. Jika yang kedua jadi pilihan, maka sangkakala Zaadit gagal menembus telinga di pemakaman mahasiswa.
TAGS : Zaadit Taqwa Aksi Mahasiswa Kartu Kuning
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/28794/Sangkakala-Zaadit-di-Pemakaman-Mahasiswa/