JawaPos.com – Ketua Satgas Nasional Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada Hewan Letjen TNI Suharyanto melarang pergerakan ternak keluar dari Provinsi Jawa Timur. Kebijakan itu diberlakukan mengingat kondisi di Jatim yang berstatus daerah merah persebaran kasus PMK terbanyak.
Tercatat 38 kabupaten/kota terkena penyakit itu.
”Demikian juga tidak boleh ada pergerakan masuk (Jawa Timur) ke kabupaten, kota, atau kecamatan yang masih hijau,” jelas Suharyanto di sela kunjungan ke Jatim kemarin (27/6).
Mantan panglima Kodam V/Brawijaya itu menilai, perlu ada pembatasan di tingkat mikro agar zona terinfeksi segera terisolasi dan zona aman tetap steril. Dalam rakor penanganan PMK yang digelar di Jatim, Suharyanto menekankan pentingnya pendataan hewan ternak secara cepat dan tepat dalam beberapa hari ke depan.
Data tersebut akan digunakan sebagai dasar pemenuhan dosis vaksinasi yang diberikan pada hewan ternak. Dia menemukan fakta di lapangan bahwa masih banyak peternakan skala besar yang belum melaporkan data hewan ternaknya, baik yang sehat, sudah divaksin, maupun yang terjangkit PMK. Selain itu, dia meminta pemerintah daerah untuk memastikan ketersediaan dokter hewan dan otoritas veteriner di setiap wilayah terdampak.
Terkait dengan vaksinasi, 800 ribu dosis vaksin telah tersedia. Sebagai tahap awal, Provinsi Jawa Timur mendapat alokasi 350 ribu dosis. Vaksin tersebut diprioritaskan bagi peternak dengan skala kecil atau yang dikelola secara pribadi. ”Sementara itu, peternakan skala besar dapat mendatangkan vaksin secara mandiri jika diperlukan,” tambah Suharyanto.
Kemudian, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, satgas akan melakukan kuntara tingkat mikro apabila 50 persen kecamatan dari suatu provinsi terinfeksi PMK atau masuk zona merah. Artinya, tidak ada mobilitas hewan ternak antardesa, kecamatan, sampai provinsi di zona tersebut untuk mengurangi potensi penularan.
”Apabila kebutuhan di satu daerah tidak terpenuhi, tidak perlu mobilitas hewan ternak antardaerah. Hal ini menguatkan pelaksanaan lockdown,” jelasnya.
Tentang virus itu, dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB Denny Widaya Lukman mengatakan, PMK pada daging dari pemotongan hewan hanya berada dalam sumsum tulang serta limfoglandula (kelenjar pertahanan). ”Karena itu, hewan yang dipotong di daerah wabah, tertular, dan terduga, tulang dan limfoglandula sangat dianjurkan diambil atau dilepaskan dari daging,” katanya.
Denny menyatakan, perlakuan tersebut ditekankan agar tidak terjadi transmisi virus ke tempat lain. Misalnya, dari lokasi pemotongan ke tempat penjualan daging atau tempat lainnya. Dia menuturkan, bagian kepala, tulang, buntut, jeroan, dan bagian bawah kaki sekitar kuku sapi di daerah wabah harus direbus. ”Tujuannya, menginaktivasi virus PMK agar tidak mencemari lingkungan dan mencegah penularan lebih lanjut,” tuturnya.
Dari Lumajang dilaporkan, peternak meminta pemerintah memberikan kompensasi untuk sapi yang mati. Kompensasi tersebut bisa berupa uang atau sapi baru. Hal itu dibutuhkan demi mencukupi kebutuhan mendesak. Misalnya, yang disampaikan Khoiril Anwar, 30. Warga Desa Bades, Pasirian, Lumajang, itu kemarin kehilangan seekor sapi setelah terserang penyakit mulut dan kuku (PMK).
”Niatnya anakan sapi ini saya besarkan dan dijual untuk rencana bikin usaha sayur,” paparnya mengisahkan kematian sapi bunting tujuh bulan itu. Apalagi, saat ini petani di daerah itu mengalami gagal panen. Banyak hasil panen yang dimakan tikus. Baik padi, cabai, maupun kacang.
Hal serupa disampaikan Ketua Kelompok Tani Tulus Karya Desa Bades Suprapto. Selama PMK merebak di Lumajang, sudah ada tiga anak sapi dan satu betina yang mati.
Bukan hanya itu, dia menyesalkan soal tidak ditanggungnya klaim asuransi untuk sapi yang sakit PMK. Di antara 37 sapi kelompok tani, 27 ekor sudah ikut asuransi ternak. Tapi, saat ada sapi yang parah, klaim tidak ditanggung.
Editor : Ilham Safutra
Reporter : tau/wan/elo/c19/cak
Credit: Source link