JawaPos.com – Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon menilai pemerintah telah membuat narasi sesat soal kenaikan harga BBM. Ia menyoroti pertimbangan kenaikan harga yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan jumlah subsidi BBM dalam APBN.
“Kebijakan ini penuh dengan tanda tanya. Apalagi, sejumlah narasi yang dibangun pemerintah untuk membenarkan kebijakan ini terbukti menyesatkan. Saya mencatat ada beberapa narasi menyesatkan terkait dengan kebijakan harga BBM dan subsidi pemerintah di bidang energi,” kata Fadli Zon dalam utas di akun Twitternya @fadlizon, Kamis (7/9).
Terkait itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, gerak cepat membantah tudingan Fadli Zon. Menurut dia, tidak ada satu pun pejabat di Indonesia yang mau membuat masyarakatnya tersesat. Dan, melalui cuitannya itu Yustinus berharap agar tidak ada publik yang disesatkan oleh opini serampangan Fadli Zon.
“Saya perlu luruskan catatan Anda dalam “Narasi Menyesatkan”. Saya rasa kita tidak ada yang mau membuat masyarakat tersesat. Kita kerja buat Republik tercinta,” kata Yustinus dalam sebuah utas di akun Twitter-nya @prastow, Jumat (9/9).
Pertama, Yustinus membantah soal nilai subsidi BBM yang tidak sesuai. Fadli menyebut, subsidi BBM dalam APBN hanya Rp 149,4 triliun bukan Rp 502 triliun. Kemudian Yustinus meluruskan, bahwa subsidi yang sering disebut oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu adalah total keseluruhan dari subsidi energi.
“Presiden dan Menkeu menyatakan Rp 502 Triliun adalah subsidi energi, dan itu memang benar: Total untuk subsidi kompensasi BBM, listrik, dan LPG 3 kg,” ujar Yustinus.
Adapun rinciannya, anggaran Rp 502,4 T itu terdiri dari subsidi energi sebesar Rp 208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 293,5 triliun.
Bahkan, ia menyebut anggaran Rp 502 triliun itu tetap tidak cukup untuk menyubsidi BBM hingga akhir tahun ini. Dengan asumsi terendah ICP di angka US$97 per barel, hingga akhir tahun pemerintah masih memerlukan tambahan Rp 89,3 T. “Jauh lebih besar dibanding surplus hitung2an Anda di Rp 14,8 T,” imbuhnya.
Bantahan kedua, Yustinus menegaskan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak pernah mengatakan akan menghilangkan sepenuhnya subsidi energi. Menkeu, lanjutnya, justru memberikan hitung-hitungan seberapa besar pembangunan yang dapat dicapai dengan uang subsidi dan kompensasi energi yang anggarannya mencapai Rp 502 triliun. Dalam hal ini, pemerintah justru mengajak publik melakukan refleksi atas dilema faktual ini.
“Nyatanya, subsidi sebesar Rp 502 triliun tersebut akan habis bahkan membengkak. Lebih lagi, pemerintah memberikan tambahan perlinsos berupa BLT BBM sebesar Rp 24,1 triliun,” ucapnya.
Terakhir, stafsus bendahara negara ini menegaskan keabsahan soal kompensasi yang dituding Fadli tidak sah karena tidak diatur dalam undang-undang. Menurutnya, kompensasi sudah sah dimuat dalam Pasal 66 Ayat (4) UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN stdtd UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 45 tahun 2005.
“Di sana disebutkan, penugasan dari pemerintah secara finansial tidak fisibel atau menguntungkan, Pemerintah Pusat harus memberikan kompensasi. Lantas di mana letak kompensasi di Perpres 98/2022? Dapat dilihat pada BA999.08 fungsi ekonomi, jenis belanja lain-lain,” kata dia.
Perlu diingat juga, kata Yustinus, ada faktor kenaikan nilai tukar yang luput disampaikan anggota partai koalisi ini. “Jangan lupa juga bahwa selain menanggung kenaikan ICP, anggaran kompensasi juga digunakan untuk menutup konstanta (biaya pengadaan, distribusi, penyimpanan) dan margin Badan Usaha. Semua transparan. Kiranya bermanfaat bagi publik agar tak disesatkan oleh opini serampangan,” pungkas stafsus menkeu.
Editor : Mohamad Nur Asikin
Reporter : R. Nurul Fitriana Putri
Credit: Source link