JawaPos.com-Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan perubahan iklim bisa berdampak pada hilangnya potensi ekonomi. Menkeu menjelaskan, kerugian ekonomi akibat perubahan iklim mencapai lebih dari 10 persen dari total nilai ekonominya.
“Indonesia diperkirakan berpotensi memiliki kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp 112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2023,” kata Sri Mulyani dalam HSBC Summit 2022 dengan tema “Powering the Transition to Net Zero” di Jakarta, Rabu (14/9).
Lebih lanjut ia menerangkan, bahwa kerugian finansial yang besar itu dipengaruhi oleh tekanan Inflasi akibat gangguan rantai pasokan Nasional dan Internasional akibat perubahan cuaca seperti kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut.
Sri Mulyani juga mengatakan, tanda-tanda terjadinya perubahan iklim bisa dilihat dari kenaikan emisi gas sebesar 4,3 persen dari 2010-2018. Selanjutnya, kian maraknya kerusakan ekosistem lingkungan. “Kemudian, suhu udara yang naik 0,03 derajat celcius tiap tahun serta tinggi permukaam laut yang naik 0,8-1,2 cm,” imbuhnya.
Sementara itu, kata Sri Mulyani, saat ini pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim melalui Paris Agreement. Hal itu dilakukan dengan mengurangi 29 persen emisi karbon atau CO2 dengan upaya sendiri. Serta, mengurangi 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Selain itu, pemerintah melalui kebijakan fiskal juga terus mendukung inisiatif transisi energi. Presiden Jokowi, lanjutnya, telah mengumumkan di acara COP26 di Glasgow tentang bagaimana Indonesia terus melanjutkan upaya untuk mencapai emisi nol.
Upaya tersebut, meliputi telah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 untuk mengatur program percepatan pemanfaatan kendaraan listrik. Lalu, kebijakan relevan untuk menciptakan lingkungan yang berkelanjutan dan memperkenalkan penerapan pajak karbon untuk mendorong kegiatan ekonomi rendah karbon.
Meski begitu, Bendaha Negara ini menyebut, Indonesia masih perlu waktu untuk mematangkan rencana penerapan pajak karbon. Hal ini karena situasi ekonomi yang masih rentan, serta ancaman krisis pangan dan energi. “Rencana ini perlu terus dikalibrasi, mengingat masih rentan dan rapuhnya pemulihan ekonomi kita, terutama akibat pandemi dan sekarang dilanda krisis pangan dan energi,” ungkap dia. (*)
Editor : Dinarsa Kurniawan
Reporter : R. Nurul Fitriana Putri
Credit: Source link