Dosen Filsafat Islam STFI Sadra Dr. Hadi Kharisman
Jakarta – Pernyataan pengamat politik Rocky Gerung (RG) yang menyebut kitab suci sebagai kitab fiksi, menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak.
Ada yang menolak karena fiksi diidentikkan dengan kebohongan, sehingga tak tepat dialamatkan kepada kitab suci. Di sisi lain, ada pula yang sepakat dengan definisi fiksi yang dijabarkan oleh RG, yakni sebuah energi untuk membangkitkan imajinasi.
Dosen program studi Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Dr. Hadi Kharisman menilai pernyataan RG benar adanya bila dilihat dari kacamata disiplin ilmu semiotika. Dalam hal ini, baik fiksi maupun mitos bukanlah cerita bohong, melainkan a kind of speech (cara menyampaikan sesuatu).
“Bukan sebagai cerita bohong, tapi sebagai a kind of speech, demi mengarahkan kesadaran masyarakat pada satu tujuan,” kata Dr. Hadi kepada Jurnas.com, pada Minggu (15/4) pagi.
Pendapat ini diamini dari filsuf Islam modern Muhammad Arkoun dan teolog Jerman R. Bultman. Menurut kedua ilmuwan tersebut, dalam teori demitologisasi, terdapat makna dan tujuan tertentu yang dikehendaki oleh kitab yang dibungkus lewat beragam kisah.
Sehingga, lanjut Hadi, baik fiksi maupun mitos dalam konteks semiotika bukanlah sebuah dongeng yang non-sense, mlainkan sebuah cara berbicara yang sangat bermakna, dan dengan arah ideologisasi yang jelas.
“Misalnya, orang Sunda sering bicara tentang pamali. Bantal di kaki pamali. Loh, apa hubungannya? Sebuah cara mengajarkan moralitas bahwa kita harus menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan fungsinya dan proporsionalitas,” jelas Dr. Hadi.
Meskipun dalam diskursus semiotika pernyataan RG tak bermasalah, namun Dr. Hadi menyayangkan RG membicarakan persoalan tersebut di ranah publik yang tidak mengenal terma mitos dalam konteks semiotika.
Menurutnya, seorang ilmuwan atau akademisi, ketika berbicara kepada publik, harus mengedepankan bahasa yang disepakati oleh publik. Sebab, jika hal ini diabaikan, maka publik akan menangkap sesuai dengan pehamahan yang mereka ketahui.
“Kalau fiksi ya fiksi. Mitos ya mitos dengan pemahaman publik. Kalau ada mitos dalam pengertian berbeda yang banyak gak tahu, terma sama tapi konsepsinya berbeda, ya jangan disampaikan di publik,” kata Hadi.
TAGS : Rocky Gerung Kitab Suci Fiksi Filsafat
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/32462/Akademisi-Fiksi-Bukan-Cerita-Bohong-Tapi/