Kebutuhan Mendesak Dasar Perppu Cipta Kerja Tak Selaras Kondisi Makro

Kebutuhan Mendesak Dasar Perppu Cipta Kerja Tak Selaras Kondisi Makro

JawaPos.com – Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Perppu ini diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang ditetapkan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021.

Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan, Perppu ini diterbitkan dengan tiga alasan. “Pertimbangannya adalah pertama, kebutuhan mendesak,” kata Ketua Umum Partai Golkar ini.

Pemerintah, lanjut Airlangga, merasa perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, terkait krisis ekonomi mulai dari inflasi hingga stagflasi. Ancaman ekonomi tersebut dirasa sangat nyata untuk negara berkembang sehingga perlu diantisipasi.

“Kita juga menghadapi ancaman resesi global, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, dan beberapa negara berkembang masuk menjadi pasien IMF lebih dari 30 negara, dan yang antre ada 30. Jadi, kondisi krisis ini untuk negara berkembang memang sangat nyata,” beber Airlangga.

Pertimbangan kedua, terkait perang geopolitik Rusia-Ukraina dan konflik lainnya yang belum usai. Menurutnya, negara dihadapkan berbagai krisis, seperti krisis pangan, krisis keuangan, dan perubahan iklim.

Terkait itu, Direktur Center for Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, alasan pemerintah yang menyebut karena kebutuhan mendesak sangatlah bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023.

“Kondisi darurat (mendesak) dalam Perppu UU Cipta Kerja bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023 dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen cenderung tinggi. Kalau ekonomi masih tumbuh positif kenapa pemerintah menerbitkan Perppu? Ancaman krisis akibat perang Ukraina pun sejauh ini justru untungkan harga komoditas batu bara dan sawit. Surplus perdagangan berturut-turut juga imbas perang,” kata Bhima saat dihubungi JawaPos.com, Kamis (5/1).

Oleh karena itu, kata Bhima, harusnya pemerintah turunkan dulu asumsi pertumbuhan tahun 2023 menjadi minus, baru ada kondisi yang mendesak untuk terbitkan Perppu. Kedua, kehadiran perpu justru menciptakan ketidakpastian kebijakan.

Menurutnya, masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi. Dalam hal ini, berdasarkan catatan kritisnya, investor bisa ragu kalau aturan berubah-ubah.

“Padahal investor perlu kepastian regulasi jangka panjang. Idealnya pada saat pembuatan produk regulasi apalagi UU harus disiapkan secara matang. Kalau terburu-buru ya jadi masalah,” paparnya.

Lebih jauh, Bhima mengungkapkan tak ada jaminan bahwa investasi akan meningkat setelah hadirnya Perppu ini. Sebab, menurutnya hingga kini banyak investasi dari aturan turunan Ciptaker yang masih mangkrak.

“Tidak ada jaminan pasca Perppu investasi bisa meningkat, karena sejauh ini banyak aturan turunan Cipta Kerja sudah berjalan tapi jumlah investasi yang mangkrak masih tinggi,” tandasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : R. Nurul Fitriana Putri


Credit: Source link

Related Articles