Ilustrasi Pilkada 2018
Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Jawa Tengah adalah kandang Banteng. Tahun 2014 lalu PDIP memperoleh 31% kursi DPRD. Namun, besarnya suara PDIP nampaknya tidak bertahan lama. Elelktabilitas PDIP bangsur turun. Saat ini tinggal 21,7% (SMRC) Turunnya suara PDIP ada dua kemungkinan; pertama, Jokowi effect. Kekecewaan rakyat terhadap buruknya sikap dan komunikasi politik Jokowi selama ini, terutama dengan lawan-lawan politiknya. Disamping faktor janji politik Jokowi yang banyak terabaikan. Gejala ini berimbas kepada partai pengusung penghuni istana ini.
Kedua, karena faktor pernyataan Megawati yang sering berseberangan dengan umat Islam. Viral di medsos bahwa PDIP tidak butuh suara umat Islam. Jika pernyataan ini benar, maka akan menjadi bentuk “kesombongan politik” yang semakin potensial menggerus elektabilitas PDIP.
Perlawanan kelompok Islam “Asal Bukan Jokowi” atau ABJ kepada PDIP di berbagai wilayah, mulai dari Madura, Aceh, Riau, dan Sumatera Utara berpotensi membuat peta kekuatan politik bergeser. Gerilya GNPF Ulama dan Alumni 212 yang selama ini berseberangan dengan PDIP berpeluang menggerus suara PDIP di semua wilayah, termasuk Jateng.
Hingga hari ini, PDIP belum menentukan bakal calon gubernurnya di Jateng. Ganjar Pranowo, incumbent, belum juga ditentukan nasibnya. Kasus e-KTP yang membelit Ganjar Pranowo membuat PDIP ragu dan gamang mencalonkannya kembali. Apalagi elektabilitas Ganjar hanya 46,1%. Elektabilitas dibawah 50% bagi incumbent termasuk rawan. Sementara, kader dan tokoh PDIP yang lain belum ada yang sekuat Ganjar. Budi Waseso? Nama ini populer, tapi elektabilitasnya hanya 12%.
Di pihak lain, koalisi Gerindra, PKS dan PAN telah mendeklarasikan Sudirman Said. Kabarnya mantan menteri ESDM ini akan dipasangkan dengan Madjid Kamil, putra Kiyai Maimoen Zubair, ulama sepuh yang paling berpengaruh di Jawa Tengah.
Jika duet Sudirman Said-Madjid Kamil ini terjadi, maka diperkirakan akan menjadi pasangan terkuat dan paling seksi. Pasalnya, kedua tokoh ini akan menyatukan semua kekuatan Islam. Sudirman Said mewakili Islam perkotaan dengan PKS dan PAN menjadi pengusungnya. Sedangkan Madjid Kamil, ketua DPRD Rembang ini dianggap sebagai representasi Islam tradisional NU. Islam kanan dan tengah akan berkumpul dalam koalisi ini. Ditambah kekuatan kelompok nasionalis dari Gerindra yang sedang naik elektabilitasnya.
Di samping itu, pengaruh Mbah Maimoen, panggilan akrab pengasuh pesantren Al-Anwar Sarang ini sangat kuat di Jawa Tengah, khususnya pantura. Para alumni yang tergabung dalam organisasi bernama FASS (Forum Alumni Santri Sarang) bertebaran di hampir seluruh wilayah Jawa Tengah. Mulai dari Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes ada banyak pesantren yang diasuh oleh lulusan Sarang. Di wilayah selatan ada Banjarnegara, Kebumen dan Purworejo. Di wilayah Timur ada Blora dan Purwodadi. Para alumni Sarang banyak yang telah menjadi ulama dan pengasuh pesantren. Ini tentu memberi pengaruh signifikan.
Tradisi santri adalah “sami’na wa atha`na” pada kiyai. Tanpa ada instruksi dari Kiyai Maimoen pun, semua ulama alumni pesantren Sarang akan bekerja menjadi tim pemenangan. Para santri akan menjadikan momentum ini untuk membalas “jasa pendidikan” yang diberikan oleh kiyai. “Ngalap berkah,” itulah kira-kira yang akan jadi “the magic consciousness”-nya. Para santri Kiyai Maimoen akan menjadi “sukarelawan militan” karena faktor ikatan santri terhadap kiyai. Inilah keberuntungan Sudirman Said dengan hadirnya putra K.H. Maimoen Zubair sebagai pendamping.
Di Jawa Tengah, hampir tidak ada calon legislatif dan kepala daerah yang gagal ketika mendapat restu Kiyai Maimoen. Muhlisin adalah salah satu contohnya. Alumnus Saudi ini belum lama pulang dari saudi, dengan keterbatasan sosial dan minim pengalaman politik, sukses jadi anggota DPR setelah dapat restu Mbah maimoen. Taj Yasin, putra Kiyai Maimoen yang masih sangat muda ini sukses ke DPRD 1 Jawa Tengah dengan suara melebihi quota. Selain itu, Marzuki, dua kali berhasil menjadi bupati Jepara dengan jaringan pesantren Sarang.
Selain santri Sarang, alumni pesantren Lirboyo, Ploso dan Lasem juga telah menyatakan dukungannya ke Gus Kamil, panggilan akrab Madjid Kamil. Jumlah alumni Lirboyo, Ploso dan Lasem sama besarnya dengan alumni Sarang.
Kehadiran putra Kiyai Maimoen sebagai pendamping Sudirman Said bagi koalisi PKS, PAN dan Gerindra seperti durian runtuh. Mesin santri dan ulama pesantren akan bekerja melengkapi dan memperkuat mesin politik PKS dan PAN. Dua kekuatan yang jarang sekali terjadi dalam dinamika politik di Indonesia. Koalisi ini juga akan menyatukan dua ormas besar yaitu NU dan Muhammadiyah.
Dimana posisi PPP? Praktis PPP akan mendukung kadernya. Madjid Kamil adalah ketua DPRD Rembang dari PPP. Hanya saja, “sandera politik” yang sekarang sedang menimpa ketua umum PPP menjadi masalah tersendiri. Di sisi lain, keadaan Ini juga bisa menjadi peluang bagi PPP untuk keluar dari sandera itu. Sebab, munculnya Madjid Kamil bukan dari usulan PPP, tetapi dari gerakan dan desakan para santri pesantren: Sarang, Lirboyo, Ploso dan lasem. Tak ada alasan bagi PPP untuk tidak bergabung dalam koalisi oposisi. Kecuali jika PPP ingin ditinggalkan oleh konstituennya di Jawa Tengah.
Prahara sejarah PPP mendukung Ahok di Pilgub DKI telah memberi pelajaran penting bagi partai berlambang ka`bah ini. PPP tidak ingin semakin terpuruk. Maka, pilihan politik PPP mesti lebih cerdas dan brilian, agar tidak membuat lari para pendukungnya. Pilgub Jawa Tengah bisa dijadikan “momentum pertaubatan” bagi PPP untuk memanggil kembali konstituennya.
Pasangan Sudirman Said dan Madjid Kamil akan menjadi penantang terberat bagi koalisi yang akan dibentuk PDIP dan partai koalisi penguasa. Jika ini terjadi, maka akan ada duel antara kelompok Islamis dengan kelompok Marhaenis.: Duel ini akan mengulang pemilu zaman old antara Masyumi dengan PNI. Siapa pemenangnya? Kita tunggu.
Menyatunya dua kekuatan Islam kanan dan moderat ini tentu tidak akan dibiarkan terjadi. Isu Islamis vs Marhaenis akan membuat miris, terutama bagi penguasa. Akan ada pihak-pihak yang berkepentingan menjegalnya. Siapa mereka?
Jawa Tengah adalah lumbung suara terbanyak ketiga setelah Jabar dan Jatim. Pengaruhnya akan cukup signifikan untuk 2019. Di sinilah bakal capres akan mengadu ketangkasan strateginya.
Duet Islamis vs Marhaenis, jika terjadi, akan menjadi pertempuran politik yang seksi dan sengit. Pertempuran berbasis pola ini akan sangat mungkin berlanjut di pilpres 2019.
TAGS : Pilgub Jateng Opini
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/27175/Adu-Kuat-Islam-vs-Marhaenis-di-Jawa-Tengah/