Hilmar Farid (kiri)
Jakarta, Jurnas.com – Kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) yang akan berlangsung 7-13 Oktober 2019 mendatang menuai kritik dari budayawan.
Ajang yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan dinilai cenderung bersifat selebrasi, tak lain hanya menampilkan seni budaya yang hanya dipertontonkan.
Sehingga dinilai pemerintah belum berhasil membuat Indonesia bahagia sesuai tagar penyelenggaraan PKN tersebut. Demikian disampaikan pengamat budaya Fahmi Prihantoro kepada awak media di Jakarta.
Menurut Fahmi PKN hanya mengulang-ulang, dikarenakan setiap daerah sudah punya program. Acara itupun dianggapnya belum menyentuh hal mendasar dari kebudayaan itu sendiri, yang tidak hanya menyangkut seni budaya saja.
“Acara ini belum mampu menciptakan dan membiasakan budaya baru yang sesuai zaman,” kata Fahmi, pada Rabu (7/8).
Bahkan katanya, kegiatan tersebut terkesan cuma menghabiskan anggaran. Di samping itu tidak tepat PKN disamakan seperti kegiatan PON yang katanya kompetisikan.
“Mestinya seni budaya tidak harus dikompetisikan, melainkan dikembangkan supaya terus lestari. Berbeda dengan kompetisi olah raga karena prestasi olah raga bermuara pada kompetisi tingkat internasional yang membawa kebanggaan bangsa,” jelasnya.
Dengan tegas Fahmi berpendapat bahwa pemerintah belum mampu mengembangkan budaya Indonesia di era 4.0 yang semakin mengancam generasi muda, yakni serba pragmatis, konsumtif dan kehilangan identitas.Hal ini tentunya yang perlu dibangun.
Seperti diketahui dalam beberapa bulan mendatang Ditjen Kebudayaan Kemdikbud akan mengelar PKN. PKN yang berlangsung pada 7-13 Oktober 2019 di Istora Senayan, Jakarta dijadikan sebagai ruang bersama yang akan mewujudkan #IndonesiaBahagia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, PKN diharapkan dapat memberikan dampak besar dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Setidaknya ada lima kegiatan utama dalam Pekan Kebudayaan Nasional, yaitu kompetisi daerah, kompetisi nasional, konferensi pemajuan kebudayaan, ekshibisi kebudayaan, dan pergelaran karya budaya bangsa,” jelas Hilmar.
Dinilai tidak efektif, lanjut Hilmar bahwa kompetisi daerah merupakan kompetisi seni khas dari tiap provinsi di Indonesia. “Kita kan satu masyarakat yang memang senang bermain, karena karakter manusia homo ludens, jadi karakter yang melekat pada kita. Jadi elemen permainan itu kita coba tonjolkan. Kita anggap ini kombinasi yang bagus,” ujar Hilmar.
Terpenting bagi Hilmar kegiatan tersebut dapat mencari permainan rakyat yang sederhana dan tidak memerlukan peralatan, fasilitas, atau logistik yang rumit.
Pada akhirnya, kegiatan bermain permainan tradisional akan mengasah dan mengembangkan permainan rakyat tersebut menjadi menarik dan menjadi perhatian publik.
“Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, permainan tradisional termasuk dalam objek pemajuan kebudayaan. Kemudian kegiatan Konferensi Pemajuan Kebudayaan akan menjadi ruang pencerahan publik yang bertujuan mempersiapkan perencanaan pembangunan berbasis kebudayaan,” tegas dia.
TAGS : PKN 2019 Ditjen Kebudayaan Hilmar Farid Budayawan
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/57211/Ajang-PKN-2019-Tuai-Kritik-dari-Budayawan/