JawaPos.com – Orang tua kerap putus asa saat anak tidak bisa diam, tantrum, dan berbagai ulah lain yang sulit dikendalikan. Ini adalah salah satu hal yang normal dalam tahapan tumbuh kembangnya.
Namun, bukan berarti anak lantas tidak diajarkan disiplin sejak dini. Yang terpenting, janganlah memakai kekerasan terhadap anak jika ingin mereka disiplin..
Dalam diskusi daring bersama Teman Parenting lewat Instagram Live bertajuk ‘Mendisiplinkan Anak Ada Triknya!’, dokter yang mendalami ilmu cognitive neuroscience, dr. Putu Ayuwidia Ekaputri, M. Sc., menjelaskan mendisiplinkan anak dapat dilakukan sejak ia lahir. Pasalnya, sejak lahir, anak sudah memiliki otak yang mampu bekerja, walaupun fungsi dan kerjanya belum begitu kompleks serta optimal.
Oleh karenanya, menjadi catatan penting bagi orang tua, bahwa dalam mendisplinkan anak perlu disesuaikan dengan tahapan usianya.Tak hanya itu, ekspektasi orang tua terhadap anak juga perlu dikontrol dengan baik ketika ingin mengajarkan soal kedisiplinan.
Menurur Widia, sapaannya, ketika anak baru lahir, bagian otak yang berfungsi secara dominan adalah bagian lower brain atau primitive brain. Bagian otak ini memiliki tugas dalam pengaturan emosi anak dan berkembang sangat pesat sebelum anak menginjak usia 3 tahun. Setelah usianya mencapai 3 tahun, perlahan otak bagian logika akan mulai terbentuk dan bekerja, sehingga mencapai tingkat kematangan di usia 25-30 tahun.
“Dengan memahami perkembangan otak anak ini, diharapkan orang tua akan lebih mudah mencari metode paling efektif saat mengajarkan disiplin pada anak, sejak awal kehidupannya,” katanya secara daring baru-baru ini.
Lalu bagaimanan caranya mendisiplinkan anak?
1. Pendekatan Emosional
Kekerasan bukanlah cara yang tepat dalam mengajarkan kedisiplinan pada anak. Sebaliknya, agar anak memahami ketika diajarkan untuk disiplin, orang tua perlu melakukan pendekatan emosional.
Menurut Widia, karena di usia balita dan anak-anak, otak emosional masih dominan, maka cara terbaik untuk orang tua adalah mengambil kesempatan tersebut untuk menarik hatinya. Di usia bawah 3 tahun, berikan anak perhatian yang penuh cinta. Misalnya, ketika anak menangis, gendong dan tenangkan. Ketika anak emosional dan mengamuk, tenangkan dan beri pelukan.
“Cobalah pererat bonding dengan anak, buat anak merasa cinta mati dengan orang tuanya. Ketika anak merasa dicintai, mereka akan menyadari dan percaya bahwa setiap aturan serta omongan yang terucap dari orang tuanya, merupakan yang terbaik untuknya. Jika anak sudah merasa nyaman dengan aturan yang diterapkan, lakukan secara konsisten,” ungkapnya.
2. Jangan Sampai Anak Trauma
Lebih lanjut, Widia juga mengatakan bahwa ketika mengajarkan anak untuk disiplin, orang tua sebaiknya jangan terlalu keras. Seringkali orang tua terlalu keras ketika mengajarkan anak, namun anak sebenarnya belum memahami tujuan dari orang tua. Hal ini akhirnya hanya akan menimbulkan perasaan takut dan trauma pada diri anak.
3. Jangan Pakai Kekerasan Verbal atau Nonverbal
Rasa marah dan tantrum yang timbul dari anak bukanlah tanpa sebab. Ada berbagai alasan yang mendasari kemarahan si Kecil, sayangnya ia belum bisa mengungkapkannya dengan baik secara verbal.
Oleh karena itu, penting juga bagi orang tua untuk mengobservasi apa penyebab anak merasa emosional, kemudian barulah mencari cara untuk menenangkannya.
Widia pun memaparkan dampak yang dialami anak jika orang tua mendidik mereka dengan kekerasan:
1. Takut Pada Orang Tua
Apabila orang tua terlalu keras terhadap anak, ada 2 kemungkinan yang mungkin terjadi pada diri anak. Pertama, anak menjadi takut dan menghindari orang tuanya. Jika sudah begini, bonding yang sudah terbangun mungkin akan perlahan memudar dan anak menjadi semakin jauh dengan orang tua. Akibatnya, anak akan semakin sulit untuk menuruti perintah orang tua.
2. Anak Semakin Memberontak
Anak justru akan semakin memberontak karena merasa emosionalnya tidak bisa tersalurkan serta dipahami oleh orang tuanya. Dalam jangka panjang, apabila orang tua terlalu sering membentak anak, sangat mungkin terjadi kerusakan komponen di otak anak dan menimbulkan trauma berkepanjangan.
“Prinsipnya, perlakukan anak sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kalau anak marah, tanyakan kenapa dia marah, beritahu kalau misalnya kita mengerti kenapa dia marah. Namun, bukan berarti juga kita langsung memberikan apa yang dia mau. Ada perbedaan tipis antara mengerti dan memberikan. Yang harus kita lakukan adalah mengerti, karena anak masih punya banyak keterbatasan untuk mengungkapkannya” tutup Widia.
Editor : Banu Adikara
Reporter : Marieska Harya Virdhani
Credit: Source link