JawaPos.com – Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) khawatir aksi sweeping dan boikot terhadap produk-produk Prancis di toko-toko ritel akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini sudah terpukul akibat pandemi Covid-19. Sebab, penjualan dari toko-toko ritel turun karena sepi pembeli.
Aksi tersebut memunculkan dampak psikologis masyarakat menjadi gelisah dan khawatir untuk berbelanja di toko-toko ritel.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, aksi-aksi seperti sweeping dan boikot terhadap produk-produk Prancis, pasti akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Karena yang berdampak itu bukan hanya kepada produk-produk Prancis-nya saja, tapi juga produk lainnya karena masyarakat takut untuk berbelanja,” ujarnya, Kamis (5/11).
Selain itu, lanjutnya, dampak ekonomi secara nasional juga terimbas karena setiap barang yang dijual terdapat kontribusi pajak untuk negara. “Kalau pembeli berkurang, PPN-nya kan berkurang. Padahal itu digunakan untuk berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, subsidi pemulihan ekonomi nasional, dan sebagainya. Jadi kalau terjadi dampak ke ritel, kan pajaknya juga kurang,” jelasnya.
Menurutnya, konsumsi rumah tangga selalu menjadi penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada PDB Semester I 2020 yang sebesar 1,26 persen, kata Roy Nicholas Mandey, konsumsi rumah tangga dari peritel berhasil menyumbangkan sekitar 57 persen.
“Konsumsi rumah tangga itu masih selalu yang tertinggi karena memang negara Indonesia masih negara konsumtif, belum menjadi negara pengekspor. Dari beberapa penentu besaran PDB, yaitu konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor, yang dikurangi dengan impor, semuanya itu yang mendominasi adalah konsumsi rumah tangga. Makanya, untuk pemulihan ekonomi nasional saat pandemi ini, pemerintah mendorong dengan bantuan-bantuan tunai supaya konsumsi masyarakat tetap terjaga, sehingga bisa menopang pertumbuhan ekonomi kita,” ucapnya.
Selain itu, menurut Roy, aksi sweeping dan boikot ini juga akan berdampak terhadap hampir 5.000 pekerja di semua perusahaan ritel anggota Aprindo, yang terdiri dari kasir, SPG, karyawan toko, gudang, dan kantor.
“Jadi kalau ada gerai yang tutup karena mengalami kerugian oleh ulah aksi itu, akan banyak karyawan yang dipecat. Pengangguran akan bertambah banyak,” tuturnya.
Sehingga, pihaknya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi kepada para anggotanya untuk boikot atau menarik barang-barang produk Prancis. “Kita memang mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron seperti yang disampaikan pemerintah, tapi Aprindo tidak pernah mau menyerukan ke anggota seperti apa yang dikatakan ormas atau LSM untuk melakukan boikot,” ucapnya.
Meskipun demikian, Roy menambahkan, jika kondisinya karena daerah atau lingkungannya, demi menjaga kerukunan, Aprindo menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing anggota atau peritel untuk mengambil keputusan masing-masing untuk mereka menyimpan dan bukan menarik, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Tapi dari asosiasi jelas dalam statement kita mendukung pernyataan pemerintah yang mengecam. Jadi janganlah hendaknya aksi itu sampai menghalang-halangi masyarakat untuk belanja kebutuhan pokok mereka. Kepentingan masyarakat harus dilihat juga, jangan kepentingan kelompok saja yang diutamakan,” katanya.
Dia juga berharap sebaiknya persoalan politik di negara-negara luar itu jangan dikait-kaitkan dengan persoalan bisnis yang ada di Indonesia. Sebab, produk-produk Prancis yang ada di Indonesia itu investasinya sudah di Indonesia, pabriknya juga di Indonesia dan karyawannya sudah orang-orang Indonesia. “Produknya itu kan sudah menjadi produk lokal, tapi kok diributkan seolah-olah itu dari Prancis. Jadi kenapa harus diboikot,” ujarnya.
Dirinya juga menyayangkan adanya isu-isu yang tidak benar atau ajakan-ajakan sweeping dan boikot yang dihembuskan melalui sosmed, sehingga menjadi pemicu untuk yang lain juga ikutan melakukan aksi serupa. “Kalau sudah sweeping kan arogansinya sangat kental sekali, sehingga akan cenderung ke anarkis. Nah, itu kan sudah tidak memenuhi hukum yang berlaku di Indonesia,” tutupnya.
Editor : Banu Adikara
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link