DENPASAR, BALIPOST.com – POJK Nomor 17/POJK.03/2021 yang mengatur tentang perpanjangan stimulus perekonomian bagi debitur perbankan yang terdampak Covid-19 sampai dengan 31 Maret 2023, akan berakhir. Namun, melihat kondisi pariwisata dan ekonomi Bali saat ini yang belum pulih betul, pelaku usaha di Bali meminta ada perlakukan khusus yakni agar program restrukturisasi diperpanjang hingga 2025.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bali, Agus Pande Widura, Minggu (24/4) mengatakan, Bali mengalami resesi karena dua kali mengalami pertumbuhan negatif. Kondisi Bali sangat berbeda dengan kondisi ekonomi nasional. “Bali butuh perlakuan khusus karena kita sangat bergantung dengan pariwisata karena pariwisata belum pulih,” ujarnya.
Menurutnya jika restrukturisasi ini tidak diperpanjang akan sangat berat bagi pengusaha di Bali pada umumnya. Karena ibarat sedang sakit membutuhkan oksigen, tapi tiba–tiba dicabut, maka bisa mati. Apalagi seperti diketahui, pariwisata butuh waktu yang panjang untuk recovery.
Saat ini saja ketika Bali telah dibuka penerbangan internasional, kamar-kamar hotel di Bali baru terisi 10% – 20% dengan harga diskon. “Artinya Bali tidak – baik baik saja. Jika diberlakukan sama dengan nasional, maka dikhawatirkan masyarakat Bali akan semakin terpuruk, banyak asset dilepas. Jika banyak yang melepas aset, bahaya,” ujarnya.
Ia berharap regulator dan pemerintah mengeluarkan POJK khusus untuk Bali. Apalagi kebijakan khusus sudah pernah diberlakukan di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Bali dengan adanya kasus Gunung Agung meletus. “Saat ini Bali betul -betul butuh POJK khusus,” ujarnya.
Fenomena yang terjadi saat ini dikatakan, restrukturisasi memang masih berlangsung tapi sudah ada kenaikan bunga. Sementara indikator ekonomi Bali belum menunjukkan perbaikan, namun suku bunga berangsur-angsur normal. “Masih ada halangan–halangan yang lain yang terjadi antara lain harga tiket yang mahal dan kedua perekonomian dunia belum pulih 100%, jadi berpikir untuk liburan masih perlu pertimbangan,” sebutnya.
Ia memproyeksi Bali baru bisa recovery 2025, karena Bank Indonesia pun memproyeksi pemulihan pariwisata paling cepat 2024. Selain itu, pergerakan wisatawan saat ini baru 7.000-an untuk wisatawan nusantara dan 3.000-an untuk wisatawan mancanegara, sementara sebelum pandemi Bali kedatangan wisatawan berkisar 30 ribu sampai 40 ribu per hari. “Dan kini kondisinya baru sepertiga dari normal, kita bisa kembalikan hutang, apabila barometernya dari kunjungan wisatawan,” ujarnya.
Ekonom dari Universitas Udayana (Unud) Prof. Wayan Suartana mengatakan, Bali harus diberi kesempatan “bernapas”. Restrukturisasi kredit adalah upaya penyehatan kredit yang lazim dilakukan oleh perbankan.
Untuk keadaan normal restrukturisasi dikakukan dengan mempertimbangkan prospek usaha dan prediksi arus kas masuk debitur. Untuk keadaan luar biasa (extraordinary) maka penilaian menjadi berbeda. Keadaan luar biasa itu menjadi variabel utama.
Bali yang mengandalkan sektor pariwisata dan besar kemungkinan banyak debitur juga bergerak di sektor ini harus diberikan relaksasi dengan periode jendela yang lebih lama. Pendapat umum menyatakan bahwa sektor pariwisata yang paling awal kena imbas pandemi tetapi paling akhir masa pemulihannya.
Karena itu dengan asumsi pemulihan berjalan sesuai dengan yang diharapkan tahun 2024 adalah tahun yang pas untuk mempertimbangkan menghentikan kebijakan mengenai restrukturisasi. “Kita berharap juga tekanan eksternal akibat krisis Rusia dan Ukraina segera berakhir sehingga ekonomi negara yang secara tradisional memasok wisatawan ke Bali mempunyai daya beli yang cukup,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)
Credit: Source link