JawaPos.com – Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Sunarso mengaku, krisis yang saat ini terjadi merupakan krisis terberat dibandingkan krisis yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti diketahui, Indonesia telah melalui beberapa fase krisis, di antaranya tahun 1998, 2008, dan 2013.
“Kalau yang sudah segenerasi saya mungkin sudah merasakan empat kali krisis, dan tidak ada yang seberat yang hari ini dihadapi,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (26/8).
Sunarso bercerita, pada 1998 silam merupakan krisis yang disebabkan oleh gejolak nilai tukar. Mulai dari Korea Selatan merembet ke Thailand, kemudian ke Malaysia hingga akhirnya Indonesia.
Di Indonesia sendiri yang dikatakan krisis moneter, kemudian berubah menjadi krisis ekonomi, hingga sosial dan politik serta dikatakan sebagai krisis multidimensional. Pada saat itu, kata dia, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS terjun minus 540 persen, CAR perbankan minus 15,7 persen, NPL melonjak 48,6 persen.
“Tetapi yang paling kena hantam adalah korporasi yang akarnya tidak kuat,” imbuhnya.
Kemudian, pada 2008 krisis yang melanda disebabkan oleh kegagalan korporasi besar di Amerika Serikat dan terimbas ke nilai mata uang lalu merembet pada suku bunga dan inflasi. Namun, yang paling terkena dampaknya segmen korporasi dimana saat itu risiko perbankan justru membaik dengan posisi NPL 3,2 persen dan CAR 16,8 persen.
Terjadinya krisis pada 2013 pun dipicu oleh kegagalan eksternal yakni salah satu negara di Eropa. Kegagalan tersebut berasal dari kegagalan bayar utang oleh negara yang terhantam adalah nilai tukar, suku bunga, dan inflasi. Saat itu CAR perbankan masih sangat baik yakni 18,2 persen dan NPL juga masih terjaga di kisaran 1,77 persen.
“Dari semua ini lagi-lagi yang kena adalah korporasi,” imbuhnya.
Namun, krisis yang terjadi tahun ini berbeda dari yang sebelumnya. Pandemi Covid-19 yang belum ditemukan obat ini membatasi bahkan menghentikan aktivitas masyarakat. Sehingga, membuat ekonomi terkontraksi.
“Bagi kami di BRI, ini krisis paling berat karena nasabahnya 80 persen UMKM. Krisis sebelumnya transmisi ke UMKM lama dan jauh, berbeda dari yang sekarang,” ucapnya.
Sunarso menyampaikan, saat krisis sebelumnya depresiasi nilau tukar tidak berdampak pada UMKM scara langsung. Namun, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat krisis akibat Covid-19 ini langsung memukul kegiatan ekonomi pelaku usaha kecil, seperti pedagang.
Tapi begitu juga sebaliknya, pemulihan ekonominya juga diyakini lebih cepat setelah adanya pelonggaran kebijakan PSBB. “Begitu PSBB dibuka, banyak orang yang lewat, ya dia jualan lagi, ya dia hidup lagi,” imbuhnya.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link