KRJOGJA.COM – SEBUAH telepon dari seseorang yang mengaku penyedia layanan kartu kredit mengagetkan penerimanya. Rasa kaget terpicu oleh pemberitahuan bahwa kartu kredit yang dimiliki bermasalah sehingga sedang dilakukan perbaikan.
Agar lancar perbaikannya, maka penelpon meminta nomor Card Verification Code (CVV) dari kartu kredit tersebut. Rasa kaget tersebut kemudian segera diredam, dengan membawa logika pikirannya, sehingga tidak muncul emosi dan kepanikan.
Logika itu membawa kesimpulan, bahwa nomor CVV sangat rahasia dan tidak boleh diberikan kepada siapapun. Sehingga orang yang menelponnya berusaha menipunya, agar memperoleh data transaksi. Penerima telpon pun mengerjai dengan memberikan nomor CVV sembarang, dan akhirnya upaya memperdayai pemegang kartu kredit mengalami kegagalan.
Upaya memperdayai pemegang kartu kredit tersebut, merupakan salah satu kisah dari banyak sekali kisah upaya memperdayai calon korban kejahatan transaksi digital. Namun tidak semua calon korban waspada dan menggunakan logika untuk mencegahnya, sehingga terperdaya. Akibatnya, terjadi kebobolan karena kecerobonan yang tidak disadarinya.
“Teknologi transaksi digital memang sangat memanjakan. Namun dibalik kemudahan itu, dibutuhkan kewaspadaan. Jika tidak, maka mudah ketipu,” ujar Ekonom dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Dr Wing Winarno menanggapi kian beragamnya aksi penipuan dan pembobolan perbankan melalui transaksi digital.
Untuk dapat waspada, maka dibutuhkan sejumlah kemampuan para nasabah. Tidak mudah emosi atau panik, agar dapat menggunakan logikanya. Selalu cek keberadaan informasi tersebut, misalnya adanya undian berhardiah, atau perubahan kebijakan bank melalui website lembaga keuangan yang bersangkutan. Jika ragu, maka informasi atau ajakan dari pihak tertentu yang meminta pemberian data, diabaikan saja.
Soal kewaspadaan ini, menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi institusi negara yang terkait pencegahan kejahatan transaksi digital. Mengingat paparan digital di Indonesia sangat deras, sementara masyarakat yang mendapatkan literasi keuangan tidak begitu besar. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laju indeks literiasi keuangan dari tahun 2013 hingga 2019, masih tergolong lambat. Tahun 2013 sebesar 21,84 persen, 2016 sebesar 29,7 persen dan 2019 sebesar 38,03 persen. “Banyak yang belum memperoleh literasi keuangan ini dikhawatirkan dimanfaatkan. Karena itu, peraturan OJK yang mewajibkan pelaku jasa keuangan untuk melakukan sosialisasi dan literasi. Selain itu dekat dengan rekan media dalam proses sosialisasi tersebut,” ujar Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas Tarihoran kepada peserta Literasi Digital Perbankan bagi Media Lokal AMSI-BNI, Jumat (19/8/2022). Selain Horas, narasumber yang tampil Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI Rayendra Minarsa Goenawan, Pakar IT dari Universitas Sampoerna, Prof. Ir. Teddy Mantoro, PhD., SMIEEE dan Praktisi media dari AMSI, Citra Dyah Prastuti.
Pentingnya menjaga kerahasiaan data harus disadari masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan Pemimpin Divisi Manajemen Risiko Bank BNI Rayendra Minarsa Goenawan yang melihat pentingnya perlindungan masyarakat terkait invasi digital. “Dari tahun ke tahun invasi digital terus meningkat tajam. Karena itu literasi diharapkan bisa lebih kencang lagi,” ujar Rayendra.
Sering terdengar terjadinya banyak pencurian data nasabah. Tidak hanya melalui aksi skimming, dengan mencuri data dari kartu, juga memlalui aksi social engineering. “Social engeeniring, lagi marak sekali. Dari mama minta pulsa, sampai anaknya kecelakaan. Mereka berusaha menipu. Melakukan manipulasi . Ada aktor, siapa target yang paling mudah. Merek melakukan dengan membangun sebuah relasi dulu. Kemudian memperdaya korban, sehingga tanpa disadari menyerahkan datanya, “ ujarnya.
Upaya pencegahan terhadap aksi kejahatan digital di sector perbankan, harus dilakukan berbagai pihak secara gencar. Pakar IT dari Universitas Sampoerna, Prof. Ir. Teddy Mantoro, PhD., SMIEEE mengemukakan, pencegahan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, perbankan, nasabah (pelanggan) dan juga media.
Salah satu yang perlu dilakukan pemerintah, yakni melalui Kominfo dengan memblokir situs yang menjerumuskan pada kejahatan. Dengan demikian, masyarakat yang tidak bisa mengakses situs tersebut.
Bagi perbankan hendanya lebih proaktif melakukan literasi dan juga menangkap keluhan masyarakat. Meningat pelaku kejahatan terus berusaha melancarkan aksisnya dengan berbagai cara kreatif yang menjerumuskan.
Sedangkan bagi masyarakat atau nasabah, maka harus lebih cakap (skillfull), berpengetahuan digital yang baik dan senang belajar dari pengalaman dan hati-hati dalam melakukan transaksi digital.
“Peran media sangat pentingya dari bagian literasi, sehingga jangkau sosialisasi bisa lebih luas,” ujar Prof Teddy.
Praktisi media dari AMSI, Citra Dyah Prastuti mengharapkan peran media yang lebih besar lagi dalam upaya pencegahan kejahatan digital keuangan. Banyak cara yang bisa dilakukan media, yakni melalui tulisan di masing-masing media, baik terkait waspada pinjol illegal, menghindari penipuan dari arisan online dan lainnya.
Jika ternyata berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, namun kejahatan tetap terjadi, lantas tanggung jawab siapa? Wing Winarno berharap tetap pihak perbankan atau pelaku usaha jasa keuangan tetap bertangungjawab. Jika terjadi kerugian yang dialami nasabah, dan bukan kesalahan dia, maka hendaknya ada penggantian dari perbankan atau pelaku usaha jasa keuangan. Namun jika karena kelalaian nasabah, maka pihak perbankan atau pelaku jasa keuangan tetap bertanggungjawab melalui terus menggencarkan literasi digital. (Primaswolo Sudjono)
Credit: Source link