DENPASAR, BALIPOST.com – Sejumlah olahan cokelat asal Bali berhasil meraih penghargaan dari 3 eme Concours International des Chocolats elabores a I’origin AVPA di Paris. Buah kakao yang diolah oleh Tobby Garit dan Inda Trimafo Yudha itu berhasil meraih 4 penghargaan, yaitu Gourmet Bronze untuk varian cokelat Bali Creamy dan Bali 80% cacao, Gourmet Argent untuk varian Bali oatmilk, Medaille Gourmet untuk varian Papua 88% Cacao.
CEO Jungle Gold, Tobby Garit, Senin (19/12), mengatakan dari 20 varian cokelat hasil kreasinya, empat diantaranya mendapatkan penghargaan. Penghargaan ini merupakan perjuangan dan kerja keras termasuk petani kakao sehingga bisa membuat coklat premium dari biji kakao berkualitas.
Selama 13 tahun membuat cokelat ia merasa miris karena ikon cokelat terbaik dan premium justru disematkan pada negara Swiss, Belgia yang notabene tidak memiliki pohon cokelat. Sementara Indonesia yang kaya dengan pohon cokelat justru tak terdeteksi dari dunia cokelat.
Maka dari itu, lewat penghargaan ini ia ingin membuktikan bahwa Indonesia tidak hanya memiliki pohonnya tapi juga mampu membuat hasil olahan cokelat premium dan berkulitas. Ajang yang diikuti semua negara di dunia termasuk Jungle Gold yang menjadi pioneer olahan cokelat di Bali dan Indonesia ini, memukau banyak pecinta dan pengamat coklat.
Cokelat olahannya tidak hanya di pohon kakao dari Bali tapi juga beberapa wilayah di Indonesia seperti Papua, Sumatera bahkan cokelatnya merupakan “plant base” karena tanpa campuran susu dari ternak. Untuk mengganti susu dari ternak, ia menggunakan susu bubuk yang merupakan komponen satu-satunya yang berasal dari luar negeri yaitu Australia dan New Zealand.
Ia ingin agar produk yang dihasilkan dan dikomersialisasikan tidak merusak lingkungan dan ramah lingkungan. “Semua berasal dari Indonesia kecuali bubuk susu karena kita ingin mencari teksturnya agar seperti ada campuran susu namun kita tidak menggunakan susu dari hewani. Mengingat peternakan sapi menyumbang perubahan cukup tinggi Maka dari itu kami menggunakan bahan alami, ramah lingkungan untuk menekan emisi karbon untuk menjaga keseimbangan alam seperti konsep Tri Hita Karana,” jelasnya.
Dalam setahun ia bisa memproduksi 100 ton cokelat. Tahun ini ia menambah 2 unit mesin agar dapat meningkatkan produksi namun ia menyayangkan pasokan kakao masih kurang karena petani lebih memilih mengekspor kakaonya dalam bentuk biji dibandingkan menjual ke produsen lokal yang notabene dapat meningkatkan nilai tambah produk kakao.
Permintaan di dalam negeri menurutnya cukup besar sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, ia masih menahan untuk melakukan ekspor. Selain memang pasokan kakao yang masih sedikit. Hal itu pula yang membuatnya mencari kakao hingga keluar Bali karena pasokan kakao di Bali yang kurang.
Inda Trimafo menambahkan, untuk mendapatkan hasil buah kakao yang berkualitas, ia tidak hanya mengambil begitu saja dari petani namun juga membimbing dan membina petani agar sesuai dengan hasil yang diharapkan. Petani kakao yang 10 tahun lalu ingin mencabut pohonnya kini justru disiplin merawat pohonnya agar menghasilkan buah berkualitas. Hal itu menurutnya karena petani sudah merasakan manfaat secara ekonomi menjadi petani kakao. (Citta Maya/balipost)
Credit: Source link