Transformasi digital memunculkan talenta baru yang menarik minat banyak orang Indonesia. Salah satunya adalah influencer. Dalam tataran akademis, influencer berarti pemberi pengaruh dalam suatu pembicaraan di media, khususnya media sosial. Sedangkan arti populer influencer adalah mereka yang memiliki pengikut (followers) dengan jumlah yang besar. Puluhan ribu bahkan jutaan followers.
—
SEBAGAI pihak yang memiliki pengikut dengan jumlah besar, aktivitas influencer di media sosial tidak bisa disepelekan. Dan justru karena itu pula, seorang influencer mesti memiliki komitmen ikut berperan membangun masyarakat Indonesia, khususnya warga internet (warganet) atau netizen, makin keren.
Sebagai talenta baru dalam transformasi digital, jangan sampai menjatuhkan reputasi influencer itu sendiri. Karena ke depan peluangnya kian besar. Saya pribadi malah berharap influencer bisa menjadi sebuah profesi bergengsi, yaitu sebagai pekerjaan yang tidak hanya bisa memperkaya diri sendiri, namun juga bermanfaat bagi orang lain, bertanggung jawab, dan memiliki unsur pengabdian kepada masyarakat.
Demi reputasi influencer sebagai profesi, berikut ini adalah hal-hal yang etis dilakukan seorang influencer sebelum ”beraksi” dengan akunnya di media sosial.
Pertama, influencer harus check dan recheck kebenaran informasi yang akan disampaikan. Karena itu, seorang influencer juga harus memiliki kompetensi cek fakta melalui berpikir kritisnya dan atau menggunakan tools kit untuk cek fakta.
Konfirmasi dan berkomunikasi dengan pihak yang menggunakan jasanya perlu dilakukan secara detail. Mirip seorang jurnalis atau bahkan bila perlu mirip kerja seorang peneliti. Perilaku ini menunjukkan bahwa influencer adalah seseorang yang bertanggung jawab dan bertindak dengan penuh kesadaran.
Kedua, secara etis seorang influencer juga harus mempertimbangkan kontennya itu bermanfaat atau tidak. Kontennya itu memberi inspirasi bagus, tidak? Kontennya mendidik masyarakat, tidak? Meskipun andai kontennya bertujuan hanya untuk menghibur, jangan sampai konten influencer malah memecah belah bangsa yang multibudaya ini.
Jangan sampai konten influencer menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Di sini influencer juga perlu memiliki wawasan hukum, wawasan budaya, dan wawasan kebangsaan.
Ketiga, influencer mesti jujur terhadap apa yang dikatakannya. Misalnya berbicara tentang produk make-up. Sebenarnya efek lain dari make-up itu kan panjang. Tidak bisa hanya memakai satu kali, langsung menilai efek produknya bagus atau buruk.
Jika baru pakai tadi atau kemarin, lalu bersaksi bahwa produknya bagus bisa menghilangkan flek, ya itu tentunya tidak jujur. Tapi, jika membagi kesannya, misal terasa ringan di wajah saat pertama pakai kemarin atau tadi, itu boleh.
Begitu juga misalnya saat berbicara soal makanan. Jika itu produk makanan, ya jangan dikatakan sebagai produk yang bisa mengobati penyakit. Bicarakanlah sebagai layaknya makanan yang lezat karena rasa atau mengundang selera karena aroma yang khas. Makanan sehat karena mengandung nutrisi lengkap, tinggi vitamin, atau makanan lezat yang sepadan dengan harganya.
Keempat, influencer perlu mengindahkan etiket berbicara, berpakaian, dan berinteraksi antarbudaya. Bahwa di ruang digital kita dipertemukan dengan banyak budaya dan juga banyak etiket (tata kesopanan). Tunjukkanlah adab di mana influencer berada.
Pelanggaran pada empat prinsip etika yang disebutkan itu selain merugikan followers juga sebenarnya merugikan diri sendiri. Netizen memiliki culture cancel di mana followers bisa ramai-ramai unfollow, ataupun ramai-ramai follow namun untuk menghujat influencer.
Bisa mengalami doxing (identitas pribadi dan identitas sosial influencer disebarluaskan) oleh netizen, atau dijerat pasal-pasal pengaduan sesuai undang-undang yang berlaku, bahkan bisa jadi diganggu kenyamanan hidupnya. (*)
*) Dr FRIDA KUSUMASTUTI MSi, Dosen Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi)
Credit: Source link