Mendiang BJ Habibie dalam kenangan (Foto: Instagram)
Oleh : Hamid Basyaib
Menjelang Reformasi 1998, sekelompok anggota Majelis Sinergi Kalam (Masika ICMI) mendatangi rumah Wapres B.J Habibie di Patra Kuningan. Selama bulan-bulan yang riuh menjelang Mei itu, aktifis-aktifis Masika memang diminta memberi masukan rutin kepada BJH, semacam executive summary tentang situasi politik mutakhir.
Malam itu, diperantarai Kepala BAKIN Z.A Maulani dan staf khusus Wapres, Watik Pratiknya, tim Masika untuk pertama kalinya bertemu dengan “klien” mereka.
Demonstrasi mahasiswa dan warga, menuntut Presiden Suharto turun, meletup di mana-mana. Sejauh itu Masika mencatat terjadi lebih dari 400 demo di seluruh Indonesia.
Habibie tak terlalu percaya, dan tampak kurang sabar mendengarkan laporan itu. Ia lalu bicara panjang-lebar tentang data yang bisa meleset, dan karena itu kesimpulan yang ditarik dari sana pun tentu keliru. “Garbage in, garbage out!” katanya, menyebut slogan dunia komputer yang kala itu baru populer. Lalu: WYSIWYG, what you see is what you get.
Habibie, yang tetap hangat meladeni tamu-tamu mudanya yang terkesan dramatis, tiba-tiba berpamitan. “Saya dipanggil Pak Harto, tapi saya hanya akan ke Cendana selama satu jam saja,” katanya. “Adik-adik jangan pulang dulu, ya. Cuma satu jam, kok.” Ada kehangatan setiap ia menyapa “adik” atau “`dik” kepada lawan bicaranya.
Di belakang punggungnya, anggota-anggota Masika mulai bergunjing dan berlomba mengeluhkan sikapnya yang terkesan mengentengkan panasnya situasi. Juga peremehannya terhadap data-data yang sudah susah-payah dihimpun. Sebagian anggota tim Masika menyimpulkan: Habibie terasing dari realitas.
Kembali dari Cendana, ia dengan riang melaporkan bahwa ia juga buru-buru pamit dari rumah Pak Harto, “karena di rumah saya sedang ada anak-anak muda pintar.” Pak Harto bertanya, siapa mereka. Habibie, menurut penuturannya, menjelaskan secara singkat bahwa anak-anak muda itu selama ini memberi banyak info kepadanya.
Pertemuan malam itu tak membuahkan hasil apapun. Tim Masika berpegang teguh pada pendapatnya berdasar data, dan menilai bahwa demonstrasi luas itu harus disikapi dengan bijaksana oleh pemerintah; tidak bisa dengan kekerasan gaya lama, karena skalanya sudah terlalu luas.
Habibie di sisi lain tetap menilai situasi tak seserius yang dikuatirkan. Tetapi yang mengesankan: dengan perbedaan tajam itu, sikap tuan rumah — seorang wakil presiden — tetap bersahabat dan menunjukkan respek pada tamu-tamu mudanya yang gelisah.
Setahun sebelumnya, Syafi`i Anwar dan saya mewawancarai Habibie, ditemani Adi Sasono, di rumahnya. Itu hari Senin. Ia puasa. Tiba-tiba masuk seorang pria dan seorang perempuan kulit putih. Si pria bertubuh jangkung, berkemeja batik. Habibie berteriak girang dan memeluk tamunya.
Dengan segera saya mengenali tamu itu: Jack Welch. Wow. Rupanya begini sosok orang yang dianggap sebagai kapten bisnis terbesar dalam sejarah, yang memimpin raksasa General Electric dengan gemilang (belakangan, menjelang pensiun, Welch-GE membeli Honeywell seharga 40 miliar dolar; akuisisi terbesar sampai saat itu).
Habibie dengan enteng mengajak kami semua berfoto bersama si jangkung. Ketika kami ragu-ragu, dan seolah sepakat membiarkan tuan rumah saja yang berfoto dengan tamu pentingnya, Habibie mendesak, memaksa. Betapa egaliternya. Betapa ringan sikapnya dan menyetarakan saja status dan “kualitas” tamu-tamunya.
Muncul di Indonesia sebagai ilmuwan dan praktisi cemerlang berusia 37 di tahun 1974, Habibie dengan cepat menarik perhatian banyak pengamat. Waktu itu tampaknya ia diberi jabatan semacam penasihat Pertamina; memang Ibnu Sutowo yang konon ditugaskan melobi Habibie di Jerman dan memintanya pulang. Ia “ditaruh” di Pertamina, sekadar sebagai alasan untuk kehadirannya di tanah air — tentu juga agar ia bergaji.
Dengan lekas karir politik Habibie melesat; agaknya ia merupakan kasus pertama di Indonesia, yaitu munculnya fakta bahwa seseorang bisa punya kuasa begitu besar dengan mengendarai mantra yang tak putus meluncur dari bibirnya: pentingnya teknologi bagi kemajuan suatu bangsa.
Dan Indonesia, katanya, tidak bisa tidak selain menempuh jalan teknologi itu jika ingin maju. Tanpa mengembangkan teknologi, maka nilai-tukar produk-produk Indonesia akan tetap rendah. Sekilo besi mungkin harganya seribu rupiah, tapi jika besi itu dijadikan jarum, harganya bisa sejuta rupiah — begitulah contoh yang kerap diucapkan Habibie untuk menekankan pentingnya nilai-tambah barang-barang Indonesia.
Tak ada tokoh lain yang mengumandangkan tanpa henti isu teknologi setandas Habibie. Bahkan publik pun tak cukup sering mendengar istilah itu, meski di Bandung sejak lama ada sekolah tinggi yang mencantumkan “Teknologi” dalam namanya. Begitu jarangnya kata itu disebut sampai orang hanya tahu “ITB”, dan “T” di situ hampir tak pernah disebut kepanjangannya.
Semua orang, dari para pemimpin di semua tingkat hingga rakyat di lapisan terbawah, mafhum belaka: kita memang negara pertanian yang masih cukup miskin, maka mustahillah kita mampu berlaga di kancah teknologi tinggi.
Pada kasus Habibie perkaranya lebih ganjil lagi: dia mau membangun pabrik pesawat terbang, bukan radio transistor atau sepeda motor. Teriakan keluhan dan ledekan pertama tentu datang dari kaum ekonom, yang dianggap paling paham tentang tahap-tahap kemajuan suatu bangsa.
Pesawat Habibie dicibir sebagai impian kosong yang tak patut, yang tak berpijak di bumi agraris Indonesia. Khayalan Habibie dinilai melanggar pakem tahap-tahap kemajuan industri yang mutlak harus diikuti setiap negara.
Habibie jalan terus. Ia bahkan berhasil meyakinkan Presiden Suharto supaya menggabungkan seluruh industri teknologi tinggi dalam satu payung, agar mudah disinkronisasi dan tak terjadi duplikasi yang mubazir. Terbentuklah 26 perusahaan di bawah Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS). Mudah ditebak siapa yang dinilai paling pantas mengepalainya.
“Perang dingin” antara Habibie dan kaum ekonom senior, dengan para cheerleaders masing-masing, berlangsung abadi — kubu Habibie tampak kalah fasih. Kubu lawan, misalnya, bersorak riang ketika tahu dua pesawat Habibie dibarter dengan beras ketan dengan Thailand.
Tak ada negara yang mau membeli pesawat buatan negeri agraris, kata mereka sambil tertawa.
Salah satu jenis pesawat terbang produk Nurtanio (PT Dirgantara Indonesia) bernama “Tetuko” (nama Gatotkaca di masa kecil). Para pengejek Habibie segera membuat kepanjangan Tetuko: sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku (yang mau beli pesawat itu tak kunjung datang, sedangkan yang datang tak kunjung membeli). Tipe CN-235, pesawat generasi pertama, dipanjangkan menjadi “Capek Nunggu” — pesawatnya tak pernah beres dan rapi jadwal terbangnya.
Abdurrahman Wahid mengarang “cerpen”. Di sebuah arena perang, katanya, setiap pesawat yang melintas harus ditembak jatuh; tapi ketika pesawat Habibie muncul, komandan bilang itu tak perlu ditembak. Kenapa? “Nanti juga jatuh sendiri…” Begitu luas dan dalam ketidakpercayaan pada kemampuan bangsa sendiri.
Habibie jalan terus dengan visi yang dipegangnya sepenuh hati. Dan ia punya alasan kuat untuk percaya diri: Bapak Presiden seolah memberinya carte blanche; ia boleh menuliskan angka berapa saja sesuai apa yang dia anggap perlu.
Saya kira waktu kemudian membuktikan bahwa Habibie-lah yang benar. Tentu saja ada banyak sekali nuansa dalam penyederhanaan ini. Tapi secara umum visi Habibie yang menang. Namun bukan dibuktikan oleh Indonesia melainkan, misalnya, oleh Brazil, negeri tebu yang sukses mengembangkan industri Embraer, yang kini membuat banyak jenis pesawat, termasuk jet tempur, bukan hanya jet kecil yang digemari oleh banyak orang kaya di seluruh dunia.
Embraer kira-kira seusia dengan PTDI. Tapi perjalanan Embaer sekali lagi membuktikan bahwa industri yang ditekuni dan dijalankan dengan konsisten pasti bakal mengalami perbaikan terus menerus dan akhirnya menjadi produk hebat — sampai tahun 70an, mobil Jepang pun ditertawai sebagai “kaleng susu”, sebab mobil berarti bukan Toyota, Mazda dan Honda melainkan Impala Chrysler, Opel, Mercedes-Benz, Land Rover, Ford, bahkan Fiat. Sekarang yang menertawai mobil Jepang akan ditertawai oleh dunia.
Jika sejak awal ditekuni, dengan didukung oleh seluruh stakeholders Indonesia, tentulah produk Nurtanio pun akan tak hanya ditukar dengan beras Thailand. Dan anak-anak Habibie tak perlu mengalami brain drain, terpaksa menerapkan ilmu mereka di Malaysia, Timur Tengah, Amerika dan di negara mana pun yang bersedia menghargai dengan wajar bakat, pengetahuan dan dedikasi mereka.
Kepada delegasi aktifis Islam senior yang menemui untuk memintanya memimpin ICMI, Habibie berkata: “Umur saya sekarang 54 tahun. Jadi jangan Anda harapkan perubahan besar pada diri saya. Tidak ada orang dengan usia segitu yang berubah.”
Tak ada yang minta penjelasan tentang makna pernyataan itu. Tapi tampaknya semua mafhum: itu adalah pengakuan jujur Habibie bahwa dia bukan datang dari kalangan santri dan, karenanya, meski ia kelak memimpin ICMI, tak perlu ada ekspektasi bahwa ia akan lebih tekun beribadah. Atau ia tiba-tiba memahami seluk-beluk fikih yang pelik, hanya demi menyesuaikan diri dengan “Muslim” dalam singkatan ICMI.
Toh, Habibie tetaplah seorang demokrat yang mudah menghargai aspirasi koleganya. Retorik “iptek”-nya kemudian selalu ditambahi dengan “imtak” — ini tentu “pesan sponsor” dari para santri kota, teman-teman barunya yang ternyata cukup menyenangkan.
Mungkin ia senang juga dengan bunyi kedua singkatan itu jika diucapkan dalam satu tarikan kalimat. Mungkin pula ia kemudian merasa kata kedua itu penting dan relevan dengan lanskap budaya Indonesia.
Yang terang: di tahun-tahun terakhir hidupnya, dan setelah ditinggal pergi oleh Ibu Ainun yang dicintainya sampai detik terakhir, Habibie justeru terkesan lebih mementingkan yang kedua daripada yang pertama.
Itu perkembangan yang boleh disayangkan untuk seorang ilmuwan-teknolog secemerlang Habibie, di tengah massa yang menerima supply seruan imtak cukup jauh melampaui demand — dan Indonesia tak membutuhkan tambahan pemasok dari seorang scientist-technologist yang inspirasinya masih sangat dibutuhkan untuk mengembangkan iptek.
Malam ini, saya akan fokus mengenang Habibie sebagai salah satu peletak penting demokrasi Indonesia, sebagai humanis yang tak mementingkan prestise dan soal-soal kulit lainnya, yang tak pernah lupa pada status dasarnya sebagai manusia. Dan tentu saja sebagai pemimpin yang paling berjasa menanamkan pentingnya sains dan teknologi ke dalam kesadaran bangsanya.
Terima kasih, Pak Habibie. Dengan cara Bapak sendiri, dengan kepolosan, kejujuran dan sikap tanpa pretensi yang inspiratif, Bapak telah mengajarkan banyak hal kepada saya — dan mudah-mudahan juga kepada banyak rekan saya dan generasi-generasi Indonesia berikutnya.
*Komut Balai Pustaka, Aktivis, dan Mantan Wartawan
TAGS : Hamid Basyaib BJ Habibie
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/59181/Habibie-IPTEK-DAN-IMTAK/