Hamdan Zoelva dan tim kuasa hukum Desrizal
Jakarta, Jurnas.com – Pakar hukum dan advokat kondang Dr. Hamdan Zoelva, S.H..M.H turun gunung. Kali ini ia tampil sebagai kuasa hukum pengacara Desrizal yang terjerat kasus pemukulan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada kesempatan itu, Hamdan Zoelva bersama Januardi S. Haribowo, Atmajaya Salim, dan Ketua Bidang Pembelaan Profesi PERADI Tasman Gultom menilai pengacara Desrizal, SH melakukan pemukulan karena dipicu oleh akumulasi kekecewaan pengacara Tomy Winata itu terhadap Majelis Hakim, lantaran memutus perkara bertentangan dengan bukti-bukti otentik dalam persidangan.
“Ini kasus menarik, kok bisa terjadi. Pertama karena saya dimintai tolong teman. Kedua saya ingin semua masyarakat tau, apa sebenarnya dibalik kasus ini untuk perbaikan dunia peradilan kita. Agar fair, baik, berwibawa. Dari kasus ini ada banyak hal yang jadi pelajaran penting,” kata Hamdan di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Hamdan menjelaskan, sidang kasus pemukulan hakim ini akan berlangsung besok, dan pihaknya berharap proses sidang akan berlangsung baik, bijak dan kita serahkan pada hakim.
“Yang pasti tim kuasa hukum akan berikan yang terbaik dalam pembelaan kami pada saudara Desrizal,” jelas Hamdan.
Dijelaskan, peristiwa itu terjadi pada 18 Juli 2019, saat Majelis Hakim Perkara No 223/2018 membacakan putusan yang menolak gugatan wan prestasi yang diajukan pengusaha Tomy Winata terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP).
Dijelaskan Hamdan dan tim kuasa hukum ini menjelaskan, kasus utang piutang itu berawal ketika GWP berencana membangun Hotel Kuta Paradiso di Bali, dengan meminjam uang dari tujuh bank.
Yaitu PT. Bank PDFCI sebesar USD 5,000,000 (Iima juta Dollar Amerika Serikat), PT. Bank Rama, PT. Bank Dharmala, PT. Bank Indonesian Investments International, PT. Bank Finconesia, PT. Bank Arta Niaga Kencana dan PT. Bank Multicor masing-masing sebesar USD 2,000,000 (dua juta Dollar Amerika Serikat). Pinjaman tersebut dituangkan dalam Akta Perjanjian Pemberian Kredit No. 8 Tanggal 28 November 1995.
Ketika terjadi krisis moneter 1998, Bank Indonesia menyerahkan PT. Bank PDFCI, PT. Bank Rama, dan PT. Bank Dharmala kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN kemudian mengambilalih piutang yang dimiliki ketiga bank tersebut terhadap GWP.
Keempat bank lainnya, yaitu PT. Bank Indonesian Investments International, PT. Bank Finconesia, PT. Bank Arta Niaga Kencana dan PT. Bank Multicor dinyatakan sehat, sehingga hak tagihnya tidak beralih ke BPPN.
Antara BPPN dengan keempat bank ini, kemudian membuat Kesepakatan Bersama yang mengatur pemberian wewenang dari bank bank tersebut kepada BPPN, terbatas untuk mengurus penyelesaian piutang dengan cara melakukan penagihan. Meskipun BPPN telah menerbitkan Surat Peringatan dan Surat Paksa. PT. GWP tidak pernah membayar hutangnya.
BPPN mengalihkan piutang yang semula dimiliki oleh PT. Bank PDFCI, PT. Bank Rama dan PT. Bank Dharmala kepada PT. Millenium Atlantic Securities (PT MAS). PT MAS kemudian mengalihkan ketiga piutang tersebut kepada Fireworks Ventures Limited.
Pada perkembangannya, piutang-piutang dari keempat bank tersebut akhirnya dialihkan/dijual hak tagihnya secara langsung kepada masing masing: PT. Bank Indonesian Investments International kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Dan Lelang Negara Jakarta IV, PT. Bank Finconesia kepada Alforl Capital Limited, PT, Bank Arta Niaga Kencana kepada Gaston Invesments Limited, dan PT. Bank Multicor kepada Tomy Winata.
Anehnya, dijelaskan ti. Kuasa hukum Sesrizal, Kesepakatan Bersama itu disimpulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bukti bahwa seolah-olah keempat bank itu telah mengalihkan hak tagihnya kepada BPPN, dan kemudian BPPN mengalihkan seluruh piutang terhadap PT. GWP kepada PT. Millenium Atlantic Securities (PT. MAS), sehingga gugatan wan prestasi yang dilayangkan Tomy Winata terhadap GWP ditolak.
Padahal di dalam Kesepakatan Bersama itu, sama sekali tidak terdapat kata alih, pengalihan atau mengalihkan, jual atau menjual.
Namun faktanya, jelas tim Kuasa Hukum Desrizal, dalam putusan Majelis Hakim mengubah penagihan menjadi pengalihan, dan mengabaikan dua bukti penting berupa putusan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap yang merupakan Produk dari Pengadilan negeri Jakarta Pusat sendiri terkait permasalahan pemberian kredit berdasarkan Akta Perjanjian Pemberi Kredit No. 8 Tanggal 28 November 1995.
Yaitu dimenangkannya gugatan PT. Bank Agris (d/h PT. Bank Finconesia), dan dinyatakannya GWP wan prestasi dan dihukum membayar kerugian materiil kepada PT. Bank Agris sebesar USD 20,389,66126 (dua puluh juta tiga ratus delapan puluh sembilan ribu enam ratus enam puluh satu Dollar Amerika Serikat dua puluh enam sen), dan putusan gugatan Gaston Invesments Limited yang menyatakan bahwa GWP den para penjamin hutangnya wan prestasi. dan menghukum untuk membayar hutang, berikut bunga. dan denda kepada Gaston Invesments Limited sebesar USD 2038956126 (dua puluh juta tiga ratus delapan puluh sembilan ribu enam ratus enam puluh satu dollar Amerika dua puluh enam sen). Gaston Invesments Limited merupakan pemegang piutang yang berasal dari PT. Bank Artha Niaga Kencana.
Jadi dengan mendasarkan kepada Akta Perjanjian Pemberian Kredit tersebut ada 2 gugatan yang telah dikabulkan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, sementara gugatan yang diajukan oleh Tomy Winata belakangan atas hal yang sama dengan dua putusan itu ditolak oleh pengadilan yang sama.
Bukti-bukti dalam persidangan inilah yang diabaikan dan tidak dijadikan dasar perlimbangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. yang membuat Desrizal, SH merasa dizhalimi sehingga berujung pada insiden pemukulan.
TAGS : Hamdan Zoelva Desrizal pemukulan hakim
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin