Ingin Repost, Izin Pemilik Konten dan Sertakan Sumber

Ingin Repost, Izin Pemilik Konten dan Sertakan Sumber

TERDAPAT jutaan konten yang diunggah dan diunduh melalui media digital setiap waktu. Supaya manfaatnya optimal, kita tidak hanya perlu cakap menggunakannya, tetapi juga harus penuh pertimbangan etika. Ruang lingkup etika, selain soal baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, juga persoalan benar dan salah. Artinya, hal yang melingkupinya mulai soal moral, kesopanan, dan soal aturan atau hukum.

Mengakses Konten Digital

Mengakses yang etis dimulai dari memilih dan memilah konten. Selalu lakukan analisis terhadap konten. Cara sederhana adalah mempertanyakan 5W seperti unsur berita. ”Who says what, when, where, why?” atau ’’Siapa mengatakan apa, kapan, di mana, mengapa?” Kita bisa cek apakah yang mengunggah adalah pihak yang memiliki kredibilitas baik? Analisis juga dalam situasi apa dia mengunggahnya? Setelah itu, lakukan verifikasi apakah konten ini benar, bukan hoaks. Media digital membantu kita dengan mudah melacak rekam jejak kan. Jika langkah pertama dan kedua ini aman, analisis lagi apakah konten ini bermanfaat? Untuk siapa bermanfaat? Jika menurut Anda bermanfaat untuk orang lain, barulah kita berpikir untuk membagikannya. Ini adalah prinsip kesadaran dan kebajikan.

Membagikan Konten Digital

Membagikan konten digital (milik orang lain) ada etikanya. Pertama, kita lihat dulu jika itu konten personal, perlu meminta izin kepada pemilik konten. Misal, konten personal adalah jika dibagikan melalui jaringan pribadi (e-mail, personal messages). Konten yang dibagi di grup khusus semacam grup tertutup juga berlaku permintaan izin jika akan dibagikan di grup lain atau yang bukan anggota grup. Permintaan izin bisa langsung kepada pemilik konten melalui personal messenger ataupun jaringan pribadi dengan menyampaikan akan kita bagikan kepada siapa dan atau ke alamat mana saja.

Kedua, jika itu konten yang sifatnya umum atau publik, yaitu yang dibagikan di aplikasi media sosial yang bersifat terbuka, microblog, website, ataupun di media massa, kita mesti jujur dengan mencantumkan identitas pemilik konten dan sumber yang digunakan untuk menyebarkan sehingga orang yang akan menerima juga bisa melacak kebenarannya. Lebih etis jika kita memberikan caption atau semacam pengantar yang bisa berupa alasan membagikannya, bisa juga berupa pendapat kita atas konten tersebut. Hal ini menerapkan prinsip jujur dan bertanggung jawab.

Memproduksi Konten Digital

Tahapan ini merupakan kompetensi yang lebih tinggi. Kita akan menjadi orang yang sepenuhnya bertanggung jawab atas konten digital tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari pelanggaran etika, harus dipastikan konten kita bukan plagiasi, menyertakan sumber yang akurat, tidak melanggar hak cipta karya orang lain tanpa meminta izin kepada pemilik karya, bukan pornografi, tidak mengandung fitnah dan pencemaran nama baik, serta tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Komponen tersebut bisa memiliki konsekuensi hukum pidana dan perdata maupun sanksi moral dan sosial jika dilanggar.

Mengunggah Konten Digital

Setelah produksi konten digital selesai, tidak lantas konten itu harus selalu diunggah dan disebarkan. Meski tampaknya sudah tidak melanggar etika hukum dan etika moral, perlu juga kita pertimbangkan sikap empati, simpati, dan situasinya. Tidak tertutup kemungkinan konten yang tidak melanggar hukum, ternyata, tetap dihujat netizen karena dianggap tidak empati pada orang atau kelompok lain . Bisa juga tidak tepat waktunya karena bisa melukai ataupun menimbulkan suasana keruh lagi gaduh. Jika memang dengan berbagai pertimbangan yang cermat konten tersebut layak diunggah, sesuaikan dengan platform yang tepat. Jangan sampai karena keterbatasan platform, konten kita terunggah tidak utuh sehingga menimbulkan salah persepsi. (*)


*) Dr Frida Kusumastuti MSi, Dosen Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan relawan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo)


Credit: Source link

Related Articles