Ketua DPR, Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP
Jakarta – Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta eksepsi atau nota keberatan tim kuasa hukum Setya Novanto ditolak majelis hakim. Lantaran surat dakwaan untuk Novanto yang dibuatnya sudah memenuhi syarat -syarat formil dan materiil.
“Berdasarkan uraian kami berpendapat bahwa surat dakwaan yang telah kami bacakan telah memenuhi ketentuan pasal 143 ayat 2 KUHAP oleh karena itu keberatan penasihat hukum terdakwa yg disampaikan harus dinyatakan ditolak,” ucap Jaksa Eva Yustisiana dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (28/12/2017).
Lantaran sudah memenuhi syarat formil dan materiil, jaksa KPK meminta agar hakim yang menangani dan memeriksa perkara Setya Novanto melanjutkan persidangan sesuai dengan dakwaan yang telah dibacakan. Pasalnya, dakwaan Novanto telah memenuhi persyaratan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Menyatakan bahwa surat dakwaan yang telah kami bacakan pada 13 Desember telah memenuhi syarat dalam KUHAP.Menetapkan untuk melanjutkan perkara ini berdasarkan surat dakwaan penuntut umum,” terang dia.
Adapun syarat material dalam surat dakwaan Novanto telah terpenuhi karena dalam dakwaan telah disebutkan locus delicti (waktu kejadian) dan tempus delicti (tempat kejadian). Menurut jaksa dalam surat dakwaan telah dipenuhi tersebut yakni, tindak pidana yang didakwakan; siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.
Kemudian, dimana tindak pidana tersebut; bagaimana dan kapan tindak pidana dilakukan; akibat yang ditimbulkan; apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut; serta ketentuan-ketentuan tindak pidana yang diterapkan.
“Komponen-komponen diatas secara kasuistik harus disesuaikan engan jenis tindak pidana yang didakwakan,” ujar jaksa Wawan.
Jaksa dalam jawabannya juga mengesampingkan beberapa keberatan kubu Novanto dalam eksepsi. Dalam eksepsi yang dibacakan pada 20 Desember 2017, tim penasihat hukum Novanto mempertanyakan soal penerimaa uang sebesar USD 7,3 juta. Menurut tim penasihat hukum hal tersebut tidak benar.
Terkait penerimaan uang, tim penasihat hukum Novanto juga beranggapan soal pengaturan distrisbusi fee kepada anggota DPR tak berkaitan dengan terdakwa. Melainkan dilakukan oleh Irman dan Burhanudin Napitupulu.
Tim penasihat hukum Novanto juga beranggapan penerimaan jam tangan Richard Mile dari Andi Agustinus kepada kliennya tidak benar. PT Murakabi Sejahtera juga dianggap tim penasihat hukum tidak memiliki peran dalam proyek tersebut.
Jaksa KPK Abdul Basir mengatakan, penerimaan uang dan jam mewah itu sudah masuk ke dalam materi pokok perkara. Jaksa akan membuktikan mengenai hal itu dalam persidangan selanjutnya.
“Kami tak akan menanggapinya karena sudah masuk ke dalam pokok perkara. Apalagi fakta-fakta tersebut telah dipertimbangkan secara benderang dalam putusan Andi Narogong,” tegas jaksa Basir.
Tim kuasa hukum Novanto dalam eksepsinya juga sebelumnya sempat menyinggung kewenangan BPKP. Dalam eksepsinya, kubu Novanto menyebut penghitungan kerugian negara oleh BPKP terkait kasus e-KTP tidak sah. Pasalnya kewenangan itu ada pada BPK RI.
Jaksa KPK tidak terlalu jauh menangapi hal tersebut. Sebab, semua telah tertuang di dalam regulasi.
“Kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara, Penuntut Umum tak akan memberikan tanggapan secara panjang lebar, karena kewenangan BPKP untuk itu telah diatur secara tegas dalam Perpres No 192 Tahun 2014,” tutur Jaksa Wawan.
Dikatakan Jaksa Wawan, apa yang tertuang dalam Pasal 3 hurub b Perpres tersebut sudah sejalan dengan putusan MK No 3/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012. Di ketahui dalam Pasal 3 huruf b Perpres No 192 Tahun 2014, disebutkan kewenangan BPKP di antaranya audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/derah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, dan pemberian keterangan ahli, serta upaya pencegahan korupsi.
“Salah satu pertimbangannya adalah `KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindk pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dna BPKP,” terang dia.
Tim penasihat hukum Novanto sebelumnya juga membandingkan tiga dakwaan korupsi e-KTP yang diantaranya yakni, dakwaan Irman dan Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, serta Setya Novanto. Kuasa hukum membandingkan nama-nama yang turut serta terlibat dalam dugaan korupsi e-KTP lewat tiga dakwaan.
Selain itu, tim kuasa hukum juga membeberkan lenyapnya nama-nama penerima uang panas e-KTP yang sebelumnya sempat muncul di dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, namun hilang di dakwaan Novanto.
Merespon hal itu, tim penasihat hukum Novanto keliru dalam mempermasalahkan pemisahan berkas perkara (splitsing) antara terdakwa yang satu dengan lainnya. Dikatakan Jaksa Wawan, splisting merupakan salah satu diskresi atau keistimewaan dalam mengambil keputusan oleh tim JPU pada proses penuntutan yakni mengajukan beberapa pelaku tindak pidana dengan surat dakwaan yang terpisah meskipun dari satu berkas perkara.
Sehingga, splitsing perkara masuk dalam ranah tekhnis penuntutan, dan bukan merupakan asas dalam hukum acara pidana sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Splisting diatur dalam Pasal 142 KUHAP dan Pasal 141 KUHAP. Penilaian dan argumentasi penasihat hukum mengenai splitsing berkas perkara didasarkan pada logika hukum dan ketentuan hukum yang keliru,” ujar Jaksa Wawan.
TAGS : Setya Novanto e-KTP Tipikor
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin