JAKARTA, BALIPOST.com – Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 4 yang diperpanjang akan berakhir Senin (9/8) ini. Sebelum memutuskan melonggarkan atau mengakhirinya, pemerintah diminta mempertimbangkan sejumlah hal.
Menurut Guru Besar Paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Tjandra Yoga Aditama perlu adanya data amat lengkap dan rinci per kabupaten/kota tentang dua aspek yakni aspek respon kesehatan masyarakat dan community transmission atau penularan komunitas. Ini, untuk menggambarkan kondisi seseorang terinfeksi virus tetapi mereka belum pernah ke luar negeri baru-baru ini atau baru-baru ini melakukan kontak dengan kasus lain yang dikonfirmasi.
Pada Februari lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan dokumen untuk memandu pemerintah di semua negara mengelola penularan komunitas virus corona. Menurut dokumen itu, begitu penularan komunitas skala besar terjadi, maka upaya untuk mengidentifikasi dan melacak kasus individu seharusnya tidak lagi menjadi prioritas.
Pertimbangan kedua, pada kabupaten/kota yang sudah ada perbaikan dalam aspek respons kesehatan dan penularan komunitasnya, keputusan pelonggaran secara bertahap perlu amat hati-hati.
“Harus evaluasi dan monitor secara ketat, dan dilakukan penyesuaian bila diperlukan. Pelonggaran suatu daerah harus mempertimbangkan daerah yang berbatasan langsung,” kata Tjandra yang pernah menjabat sebagai Direktur WHO Asia Tenggara dan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes itu, dikutip dari Kantor Berita Antara.
Selain itu, ada tiga prinsip dasar yang perlu tetap diperkuat yakni pembatasan sosial, test dan tracing serta vaksinasi yang harus tercapai sesuai target. Terkait evaluasi pada akhir masa penyesuaian kegiatan (PPKM level 4), Tjandra mencatat kenaikan angka kematian bila dibandingkan pada waktu awal.
“Yang meninggal 1.500 per hari. Pada awal PPKM Darurat 491, jadi naik 3 kali,” kata dia.
Kemudian untuk tingkat kepositifan atau positivity rate tercatat sekitar 25 persen. Angka ini 5 kali batas WHO yang menetapkan 5 persen.
Walau begitu, Tjandra mencatat angka keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate atau BOR) di kota-kota besar kawasan Jawa dan Bali turun dan Instalasi Gawat Darurat (IGD) tak lagi penuh.
Selain itu, data kasus baru di beberapa daerah Jawa sudah menurun, sesudah masa penyesuaian diberlakukan.
Lebih lanjut, menurut dia, saat ini ada tiga hal yang patut jadi perhatian utama yakni upaya maksimal untuk menurunkan angka kematian, pelaksanaan komunikasi risiko dengan baik yakni kolaborasi pemerintah dan praktisi lapangan, serta melakukan analisa ilmiah yang valid dan lengkap untuk dasar pengambilan keputusan. (kmb/balipost)
Credit: Source link