Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Febri Diansyah
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait perhitungan kerugian negara terkait kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada BDNI, milik Sjamsul Nursalim. Koordinasi itu dilakukan untuk memfinalisasi perhitungan kerugian keuangan negara pada kasus yang telah menjerat mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsjad Temenggung sebagai tersangka.
“Kita sudah bertemu BPK kembali untuk melakukan finalisasi penghitungan kerugian keuangan negara,” ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Sabtu (26/8).
Sejauh ini, KPK menduga kasus dugaan korupsi itu merugikan keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun. Nilai tersebut sama dengan kewajiban yang masih harus dibayar Sjamsul sebagai obligor BLBI.
Kerugian keuangan negara akibat kasus dugaan korupsi tersebut ditaksir meningkat. Membengkaknya nilai kerugian keuangan negara ini mencuat berdasar perhitungan sementara yang dilakukan BPK. Selain itu, kerugian keuangan negara ini berdasar proses penyidikan yang dilakukan KPK sejauh ini.
“Terakhir diperoleh (kerugian keuangan negara) Rp3,7 triliun dan ada kemungkinan kerugian keuangan negara juga bertambah dari proses penghitungan tersebut dan penyidikan yang berjalan,” tandas Febri.
Dalam kasus penerbitan SKL BLBI ini, KPK baru menetapkan mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. Syafruddin Temenggung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
BDNI merupakan salah satu bank berlikuiditas terganggu karena dampak krisis ekonomi 1998. Kemudian BDNI mengajukan pinjaman lewat skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Akan tetapi BDNI dalam perjalanannya menjadi salah satu kreditor yang menunggak. Pemerintah pada saat yang bersamaan mengeluarkan kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang lebih ringan dengan dasar Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2002.
Berdasarkan Inpres tersebut, bank yang menjadi obligor BLBI bisa dinyatakan lunas hutangnya jika membayar lewat 30 persen uang tunai dan menyerahkan aset senilai 70 persen dari nilai hutang.
Syafruddin yang telah menjabat sebagai Ketua BPPN sejak April 2002, mengusulkan ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) agar SKL BDNI disetujui pada Mei 2002. Dimana SKL itu memuat perubahan atas proses litigasi obligor restrukturisasi oleh obligor BLBI dalam hal ini Sjamsul Nursalim kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Dari hasil restrukturisasi tersebut, sebanyak Rp1,1 triliun sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi.
Meski masih ada kewajiban obligor Rp 3,7 triliun, Namun Syafruddin Arsyad Temenggung tetap mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Syamsul Nursalim atas kewajibannya pada April 2004.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/20768/Kasus-SKL-BLBI-Kerugian-Negara-Ditaksir-Meningkat/