Khairil Miswar
Baru-baru ini publik Indonesia dikejutkan dengan terbongkarnya pesta seks kaum gay yang bertajuk “The Wild One.” Pesta seks “menyimpang” ini digrebek oleh Tim Gabungan Polres Jakarta Utara dan Polsek Kelapa Gading dengan menangkap 144 orang (okezone.com). Temuan yang mengejutkan ini membuktikan bahwa fenomena gay (homoseksual) di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu, Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh telah menjatuhkan vonis cambuk terhadap dua terpidana homoseksual di Aceh. Masing-masing terpidana dihadiahi 85 kali cambukan di hadapan umum. Dalam putusannya, hakim menyatakan perbuatan kedua pelaku dilakukan atas dasar suka sama suka. Kaum homo ini dinilai melanggar pasal 63 ayat 1 junto pasal 1 poin 28 Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayah. Keduanya terbukti bersalah karena melakukan jarimah liwath (homoseks). Namun sayangnya, tidak ada pengacara yang mendampingi mereka ketika vonis dijatuhkan.
Vonis cambuk terhadap pasangan homoseksual ini juga mendapat tanggapan dari media internasional yang menyebut vonis tersebut sebagai hukuman ekstrim. Sementara kelompok HAM internasional juga menuding vonis 85 cambuk sebagai bentuk perlakuan kasar dan memalukan. Bahkan, pegiat HAM tersebut meminta kedua terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Kasus homoseksual ini baru pertama sekali masuk ke ranah hukum syariat, meskipun kasus ini bukan yang pertama di Aceh. Media Serambi Indonesia menyebut vonis terhadap terpidana homoseksual ini adalah bentuk penegasan bahwa hukum syariat di Aceh tidak bisa diintervensi pihak asing. Dengan mengabaikan kecaman dari lembaga HAM internasional, akhirnya para pelaku homoseksual di Aceh menjalani hukuman cambuk di halaman Mesjid Syuhada Kecamatan Syiah Kuala pada Selasa (23/05/17). Pasangan liwath ini mendapat cambukan masing-masing 82 kali oleh lima algojo secara bergantian. Prosesi hukuman syariat ini ditonton oleh ribuan masyarakat.
Orientasi Seks
Dalam konsep HAM Barat, setiap manusia bebas melakukan apa saja tanpa terikat dengan nilai-nilai agama. Hal ini dapat dimaklumi karena Barat menganut paham sekularisme, di mana kehidupan duniawi secara tegas dipisahkan dari agama. Kondisi ini tentunya berbeda dengan Islam yang menganggap agama dan hal-hal duniawi sebagai sesuatu yang integral.
Konsep sekularisme yang dianut Barat ini memungkinkan mereka untuk memberikan kebebasan penuh kepada manusia tanpa boleh diintervensi oleh siapa pun, termasuk oleh Tuhan sekali pun. Dalam kehidupan Barat modern, agama bersifat privat dan personal sehingga negara tidak berhak ikut campur. Di sini terlihat jelas bahwa kultur yang berlaku di Barat sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan kultur muslim. Dengan demikian, memaksakan konsep HAM Barat terhadap muslim adalah salah satu bentuk “teror” yang harus dilawan.
Kekhususan Aceh
Upaya intervensi hukum atas nama HAM bukan baru kali ini terjadi, tetapi terus berulang. Dan tidak hanya di Aceh. Pelaksanaan hukuman had (qishahs) di Arab Saudi misalnya, juga tidak pernah sepi dari kritik lembaga HAM internasional. Dari upaya yang terus-menerus ini terkesan bahwa lembaga HAM telah memaksakan penafsiran tunggal terhadap HAM, di mana konsep HAM yang mereka gagas harus diterima secara aksiomatik.
Sebenarnya, pelaksanaan hukuman syariat terhadap pasangan homoseksual ini harus dipandang sebagai sebuah kekhususan yang dimiliki Aceh. Dengan demikian, lembaga HAM internasional tidak berhak menghalang-halangi penegakan syariat Islam di Aceh dengan alasan kemanusiaan. Setiap daerah tentunya memiliki aturan tersendiri yang tidak bisa diintervensi oleh pihak asing. Bagi masyarakat Aceh sendiri, penegakan hukum syariat terhadap perbuatan liwath (homo) adalah salah satu wujud penyelematan marwah (kehormatan) dari perilaku menyimpang.
Gelar “serambi Mekkah” yang disandang Aceh ratusan tahun lalu tentunya akan tercoreng jika perilaku “bejat” ini dibiarkan. Para pegiat HAM bisa saja berdalih bahwa setiap manusia bebas menentukan orientasi seksualnya. Di satu sisi, pegiat HAM telah mencoba memaksakan perspektifnya sendiri kepada pihak lain. Sementara di sisi lain, pegiat HAM justru menafikan keyakinan yang dianut agama tertentu yang pada prinsipnya juga bagian dari HAM.
Bagi mayoritas masyarakat Aceh, perilaku homoseksual tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran atas ajaran agama, tetapi juga melanggar norma-norma dan adat istiadat yang dianut. Di Aceh, wanita yang tidak menggunakan jilbab di tempat umum sudah dianggap melanggar syariat. Begitu pula dengan laki-laki dewasa yang memakai celana pendek juga dianggap sebagai perbuatan aib dan memalukan. Dengan demikian tidak heran jika perilaku-perilaku ganjil seperti homoseksual merupakan aib besar bagi masyarakat Aceh. Untuk itu sudah semestinya para pegiat HAM internasional menghargai nilai-nilai yang telah disepakati secara kolektif oleh masyarakat Aceh sebagai sebuah kearifan lokal.
Tidak hanya itu, penerapan syariat Islam di Aceh juga memiliki dasar hukum yang kuat dan telah menjelma menjadi hukum positif dalam bentuk qanun. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pelaksanaan hukuman cambuk terhadap pelaku homoseksual merupakan ketetapan hukum yang harus dihargai oleh semua pihak.
*Penulis adalah Kolumnis dan juga Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran Islam.
TAGS : Syairat Islam Aceh Gay Khairil Miswar
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/17605/Kaum-Homo-dan-Vonis-Cambuk/